7. Kesempatan dalam kesempitan

559 85 4
                                    

Anak laki-laki itu menggenggam pecahan gelas yang berserakan di lantai kamarnya, tak peduli meski hal tersebut membuat telapak tangannya semakin terluka hingga meneteskan banyak darah ke lantai.

Mata anak itu tiba-tiba berkilat merah. Ia menyeringai, lalu menatap anak lain yang ada di depannya.  Mendekatinya perlahan sembari mengacungkan pecahan gelas yang dia pegang, kemudian dengan gerakan cepat menggoreskannya ke wajah anak tersebut.

"Aaa!! Tolong!!!"

Alvin langsung terperanjat bangun. Napasnya memburu dan keringat bercucuran deras. Matanya bergerak ke segala penjuru kamar dengan jantung memompa dengan cepat. Mimpi itu ... terasa seperti kenyataan. Di kamar ini, dua anak yang ada di mimpinya itu ada di kamarnya. Tepat di samping tempat tidur, di depan meja nakas. Namun, anehnya dia tak bisa mengingat jelas wajah kedua anak dalam mimpinya itu.

Alvin berusaha mengingatnya, mengerahkan pikirannya untuk menggali memorinya yang hilang. Siapa tahu mimpi itu berasal dari ingatannya yang hilang.

Tak berhasil.

Ia malah mengerang, menjambak rambutnya sendiri. Semakin diingat, kepalanya malah semakin nyeri. Sebenarnya ada apa dengannya?

Alvin mengembuskan napas kasar, merangkak turun dari kasur. Kemudian membersihkan diri di kamar mandi, bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Di perjalanan menuju sekolah, netra Alvin tak sengaja menangkap keberadaan seorang gadis yang berdiri di samping mobil yang tengah menepi. Gadis itu terlihat menggerutu dengan wajah datar andalannya sembari memperhatikan seorang laki-laki yang sedang berkutat dengan mesin mobil.

Alvin menepikan motornya di belakang mobil itu, membuat Rania menyadari keberadaannya dan langsung melempar tatapan sinis. Alvin memilih mengabaikan gadis itu, melangkah melewatinya, menghampiri laki-laki yang masih sibuk di depan mesin mobil.

"Permisi, Kak, mobilnya ada masalah?"

"Eh?" Aris mengerjap kaget. "Eu— iya nih, tiba-tiba."

Alvin manggut-manggut, dia ikut menilik mesin mobil. Padahal dia sendiri pun tak tahu apapun soal permesinan. "Aku gak tau masalahnya apa, mending panggil montir aja, Kak," ucap Alvin, kembali menatap Aris, tetapi langsung dibuat berjengit kaget ketika melihat Aris yang tiba-tiba mengukir senyum lebarnya.

Si kakak ini kenapa?

"Kamu satu sekolah sama Rania?" tanya Aris tiba-tiba.

Alvin mengangguk jujur. "Iya, bahkan sekelas." Bau-baunya Alvin bisa menebak apa yang akan Aris lakukan.

Aris langsung bertepuk tangan sekali dengan antusias. Kemudian menarik Rania dan merangkul pundaknya erat.

"Rania ini adik saya, tadinya saya mau nganter dia berangkat tapi mobilnya mogok. Nah, karena kebetulan kalian satu sekolah bahkan satu kelas, boleh gak kalo Rania nebeng sama kamu?" tanya Aris dengan senyum lebar dan menatap penuh harap.

Yap, tebakan Alvin benar.

Berbeda dengan sang kakak, Rania justru langsung melotot sambil menghempaskan rangkulan Aris. Menolak tegas. "Aku gak mau!" Dia sudah memutuskan untuk tak berurusan dengan pemuda itu apa pun yang terjadi.

"Daripada bolos." Aris mendorong jidat adik perempuannya pelan.

Rania langsung mencebik. "Mending aku naik angkot."

"Kelamaan!" Aris berseru, ia lalu melihat ke arah Alvin yang masih bergeming di tempat. "Eh, nama kamu siapa?"

"Alvin, Kak." Alvin menjawab kalem.

DARKSIDEWhere stories live. Discover now