10. Siapa dia?

514 76 5
                                    

Sejak beberapa hari ke belakang Alvin merasa aneh dengan Elisa. Seringkali dia nampak begitu gelisah—seolah ada orang yang mengawasi gerak-geriknya. Namun, setiap kali Alvin tanya apakah ada masalah, mamahnya selalu bilang tak ada. Beberapa kali Alvin mendesak agar mamanya bercerita, akan tetapi bukannya mendapat pencerahan, mamanya justru semakin sering menghindarinya.

Seperti pagi ini. Biasanya ia dan Elisa selalu makan bersama. Namun, kali ini Alvin tak melihat mamanya itu sama sekali. Di meja makan hanya ada beberapa macam makanan yang sudah tersaji di sana. Entah kapan Elisa memasak, biasanya Alvin tak akan ketinggalan menonton kegiatan memasaknya itu.

Karena khawatir Alvin pergi ke kamar Elisa. Mengetuk pintu dari kayu di sana sambil berseru memanggil sang mama. Nihil. Tak ada sahutan sama sekali. Alvin semakin was-was. Ia membuka kenop pintu perlahan.

"Ma?"

Terbuka. Akan tetapi, tak ada siapa pun di sana. Pemuda itu terdiam di ambang pintu sembari bertanya-tanya ke mana mamanya sepagi ini?

Pandangan Alvin mengedar, lalu berhenti saat melihat pintu ke balkon sedikit terbuka membuat angin masuk, meniup pelan tirai di sana. Tanpa pikir panjang dia mendekat. Sama seperti tadi, dia tak menemukan mamanya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat Alvin heran.

Ada jejak kotor sepatu di lantai.

Aneh. Padahal mamanya tak pernah membiarkan siapa pun masuk ke rumah memakai sepatu.

***

"Dah nyampe!" Aris menghentikan mobil di depan gerbang sekolah adiknya. "Sana turun, belajar yang bener, jangan kayak waktu itu. Masa ulangan dapet 65."

"Berisik, wajar dong aku kan anak baru."

"Gak ada hubungannya." Aris menyentil kepala Rania. "Bilang aja gak bisa. Pokoknya abang gamau tau kalo ada ulangan matematika lagi nilai kamu harus 70 ke atas."

Rania mendelik. "Dih, siapa ngatur-ngatur?"

"Kakak luh!"

"Bodo amat." Rania acuh tak acuh. Segera keluar mobil sebelum Aris memberinya ceramah. Kadang Rania heran, kenapa dirinya dan Aris sangat berbeda 180 derajat. Kakaknya suka sekali bicara dan mengomentari orang lain, sementara dia begitu pendiam dan sangat cuek dengan kehidupan orang lain.

Sebenarnya Rania ingin tetap cuek seperti dirinya yang biasa. Akan tetapi kali ini rasa penasaran tiba-tiba muncul ketika tak sengaja melihat seseorang yang keluar dari parkiran.

Alvin. Tak seperti biasa, wajah pemuda itu lebih murung. Bahkan saat melewati murid lain pun wajahnya tak berubah. Padahal biasanya pemuda itu suka sekali menyapa orang-orang atau kalau tidak menggoda para adik kelas dengan wajah memuakkannya.

Rania mengekori pemuda itu. Entah karena langkah Alvin yang terlalu lambat ataukah Rania yang terlalu cepat, tanpa sadar jarak mereka kini sudah tiga meter saja.

Merasa diikuti Alvin jadi menoleh, Rania yang terkejut hampir saja terlambat berhenti dan menabrak pemuda itu.

"Lo ngikutin gue?" Alvin menyipitkan mata.

Rania membuang muka sekilas, lalu memasang delikan sinis. "Geer."

"Terus kenapa jalan di belakang gue?"

DARKSIDEWhere stories live. Discover now