17. Dia berbahaya

413 73 7
                                    

Satu ketukan.

Dua ketukan.

Dava menghela napas panjang sebelum akhirnya mengetuk kamar Alvin lebih banyak lagi. "Rey ..."

Tak ada sahutan.

Ia mengetuk lagi. Kali ini sambil berusaha menggerakkan kenop pintu yang ternyata dikunci itu. "Rey, lo ada di dalam? Bisa kita bicara sebentar?"

Masih tak ada jawaban. Dava berdecak jengkel, kini ketukannya berubah jadi gedoran keras. "Rey! Buka pintunya!" Dava berteriak. Akan tetapi, Alvin tak kunjung menyahut sama sekali. Rasa jengkelnya berubah jadi kecemasan, Dava terus menggerakkan kenop seraya menabrakan bahunya untuk mendobrak pintu itu.

"Rey!!!"

Peluh keringat membasahi kening Dava. Jantungnya memompa cepat bersamaan dengan rasa cemas yang semakin membesar. Ia mundur sampai mentok di tembok, menarik napas untuk mengumpulkan tenaga, sebelum akhirnya maju dan kaki menendang pintu itu sekuat-kuatnya.

Percobaan pertama gagal. Kakinya berdenyut sakit. Tapi Dava tetap tak berhenti, dia mencoba lagi, lagi, dan lagi hingga engsel pintunya rusak. Gerakan terakhir, Dava mendobrak pintu dengan tubuhnya, membuat pintu itu jatuh menimpa lantai.

Dava menghela napas berkali-kali, meluruskan pandangan hingga ia bisa melihat tubuh adiknya tergeletak di samping tempat tidur.

"Rey!" Pemuda itu panik, segera menghampiri tubuh Alvin dan mengguncangnya pelan. "Rey, bangun." Ia menaruh telunjuk di bawah hidung Alvin untuk mengecek napasnya. Dava menghela napas lega, dia takut sekali jika Alvin melakukan percobaan bunuh diri lagi seperti yang diceritakan mamanya.

Alvin berkeringat banyak, rambutnya hampir basah semua, ia kemudian mengecek suhu tubuh Alvin, tapi anehnya Alvin tak panas sama sekali dan justru malah dingin. Dingin sekali bahkan sampai langsung menjalar ke tangan Dava.

Dava panik. Berdiri, meraba-raba celana untuk mencari ponselnya. Sial, dia lupa menaruh ponselnya dimana. Ia kemudian mencari ponsel Alvin, di kasur tak ada, di sakunya tak ada, dia mengedarkan pandang lalu menangkap sesuatu di atas meja belajar.

Namun bukan ponsel yang dia temukan.

Dava meraih benda kecil berwarna merah yang berserakan di sana dengan tangan gemetar. "Ini ... obat apa?"

Ia mencium baunya. Aroma anyir langsubg menusuk hidung, membuat Dava mual. Ia menggelengkan kepala berusaha tak terlalu memikirkannya dulu, dia membuka laci meja, akhirnya menemukan ponsel Alvin di sana.

Karena tak tahu sandi ponselnya, Dava memakai pendeteksi wajah Alvin untuk membukanya. Setelah terbuka dia langsung mencari kontak Elisa dan menelponnya. Akan tetapi, baru saja ponsel ditempelkan ke telinga tiba-tiba ponsel itu jatuh saat tangan Dava ditarik oleh Alvin.

Dava terkesiap. Segera membantu Alvin untuk duduk. "Rey, lo gapapa?"

Alvin tak menjawab, dia hanya menatap Dava dengan tatapan sayu. Dari wajahnya jelas terlihat jika Alvin sedang sangat lemas.

"Rey, ayo kita ke rumah sakit dulu." Dava meraih pundak Alvin, hendak membantunya berdiri, tapi Alvin langsung menghempaskan tangannya seperti tadi.

"Kenapa, Rey?"

"Haus ...." Alvin berkata begitu pelan.

"Haus?" Dava membeo. "Sebentar gue ambilin minum-" Saat Dava hendak beranjak pergi, tangannya justru ditarik hingga duduk kembali.

DARKSIDEWhere stories live. Discover now