3. Kecelakaan maut

686 117 3
                                    

Ketika terdengar suara riuh para murid, Alvin jadi terbangun dari tidur nyenyaknya. Ia menatap linglung ke depan, melihat jam dinding yang sudah menunjukan jam pulang. Seingatnya dia tidur saat jam istirahat, tak sangka akan sampai sekarang.

Ia kira sudah tak ada orang lagi di kelas. Ternyata masih ada. Alvin langsung menyengir saat menoleh ke sampingnya. Melihat sahabatnya Dani di sana sedang menatapnya datar.

"Enak, tidur?" sindir Dani.

Alvin mengangguk lesu. Menggeliat, sambil menguap lebar untuk mengumpulkan nyawanya kembali. "Wah, gue tidur berapa lama, nih?"

"Tiga jam. Untung aja tadi cuma dikasih tugas. Tadinya gue mau bangunin lo, cuma kasian. Lo keliatan lemes."

"Uhh so sweet banget." Alvin mengerjapkan mata. Dani langsung mendorong wajahnya kasar, merasa geli.

"Kambuh lagi, ya?" tanya Dani tiba-tiba.

Alvin mendadak terdiam. Pemuda berkulit putih pucat itu memilih membuang muka dan membereskan buku untuk mengalihkan kegiatannya.

Dani memang tahu kondisi Alvin. Setiap enam jam sekali, Alvin harus minum obat. Jika tidak, Alvin akan merasa begitu lemas, diikuti dengan sakit kepala yang teramat, dan sesak hingga napasnya tersegal. Seperti tadi.

Mamanya bilang itu penyakit, tapi sebenarnya Alvin pun tak tahu penyakit apa yang membuatnya begitu tersiksa seperti itu. Mamanya tak pernah memberitahu sekali pun, selalu mengatakan kalau penyakit itu ada karena kecelakaan besar yang menimpanya beberapa tahun lalu.

Entah sudah berapa kali penyakitnya kambuh di depan Dani. Membuat Alvin terpaksa menceritakan ketergantungannya pada obat miliknya. Cuma Dani yang tahu.

"Ayo pulang." Alvin menyampirkan tas ke bahu.

"Lo belum jawab."

"Gue gak apa-apa, Dan. Tadi cuma kecapean." Alvin menjawab tenang, melangkah lebih dulu keluar kelas. Dani menyusul, melangkah di sampingnya.

"Sorry, harusnya gue samperin lo pas di lapangan tadi."

"Apa sih? Gue bilang gak apa-apa, gak usah ngerasa bersalah."

"Tadi Rania bilang sama gue kalau lo sempet hampir pingsan."

Langkah Alvin terhenti. Ah, gadis itu. Alvin lupa, sekarang selain Dani, hanya gadis itu yang tahu jika dia mengkonsumsi obat. Sepertinya dia harus meminta Rania menyembunyikan fakta tersebut.

Bertepatan saat Alvin memikirkan Rania, kebetulan gadis yang dipikirkan masuk ke dalan jarak pandangnya. Setelah berbelok di koridor depan, Alvin bisa melihat jika gadis berambut panjang itu sedang berjalan bersama Fira jauh di depan.

"Sejak kapan mereka berdua akrab?" Dani bertanya heran. Pandangannya juga tertuju pada dua gadis di depan mereka.

"Perpaduan yang mematikan, ya? Yang satu emosian, yang satu jutek luar biasa. Harusnya mereka  musuhan bukannya temenan," ungkap Alvin memberi pendapatnya.

"Bener banget. Api dan api gak boleh bersatu, nanti kebakaran."

Alvin tertawa. Meski detik kemudian  telinga Alvin tiba-tiba berdengung. Sontak membuat pemuda itu menghentikan langkah dan membeku di tempat.

Tatapannya lurus ke depan, tak berkedip. Sementara pikirannnya dirasuki sebuah firasat. Memutar cepat sekilas kejadian maut yang mengancam salah seorang di antara kedua gadis tersebut.

Sebuah truk melaju tak terkendali....

Suara teriakan dan jeritan ....

Mobil motor hilang kendali terserempet badan truk ...

DARKSIDEWhere stories live. Discover now