11. Mimpi buruk

455 75 2
                                    

Prang!

Brugh!

Seorang anak laki-laki langsung mengaduh, saat dirinya jatuh dari kasur menimpa pecahan gelas yang tak sengaja dia jatuhkan saat hendak mengambil minum di nakas. Ia merintih sakit, tangannya tertusuk pecahan kaca. Mengeluarkan banyak darah, menetes ke lantai.

Pada awalnya dia memang merasa sakit dan perih di tempatnya terluka, akan tetapi saat dia menatap darah di tangannya lebih lama, tubuhnya menegang. Sebuah sensasi asing hadir. Entah kenapa ... Dia merasa senang.

Ia menelan ludah, perlahan mendekatkan bibir ke telapak tangannya yang dipenuhi darah segar. Menempelkannya. Lantas mengecapnya sedikit dengan lidah.

Manis.

Kenapa darahnya begitu manis?

"Rey!"

"REY!"

Alvin langsung terperanjat bangun. Menudukan diri dengan napas terengah. Ia melirik ke samping tempat tidurnya, di sana berdiri sang mama yang menatapnya khawatir.

"Kamu kenapa? Mimpi buruk?"

Alvin menelan ludah. Mengusap wajah dengan tangannya yang sedikit bergetar. "A-aku gapapa. Cuma mimpi buruk."

Elisa mengusap surai hitam Alvin lembut. "Yaudah cuma mimpi, kan? Ayo bangun, udah siang. Sebentar lagi kita jemput Dava di stasiun."

"Kak Dav datang hari ini?" Alvin bertanya heran. Mamanya waktu itu pernah memberitahunya soal kepindahan Dava ke rumah ini lagi, akan tetapi ia sedikit terkejut karena tak menyangka akan secepat ini.

"Iya, kamu siap-siap ya."

Alvin mengangguk. Elisa keluar kamarnya. Seketika Alvin teringat mimpinya tadi yang terasa terhubung dengan mimpinya waktu itu. Namun, seperti yang sebelumnya, Alvin tak ingat wajah anak yang ada di sana sama sekali. Akan tetapi ketika ia mendengar namanya di sebut tadi. Alvin jadi berpikir, apa mungkin anak itu adalah dirinya sendiri?

Apa jangan-jangan mimpi itu bukan sekedar mimpi, melainkan ... Sebuah potongan kejadian dari ingatannya yang hilang?

Bulu kuduk Alvin meremang. Jika benar anak itu adalah dirinya, mengapa dia melakukan hal itu?

***

Sepanjang perjalanan setelah menjemput Dava di stasiun kereta, Alvin terus diam di kursi belakang. Dava yang duduk di depan bersama mamanya pun tak berniat mengajak Alvin berbicara sama sekali. Hanya mengobrol ringan bersama mamanya yang terus berusaha mencairkan suasana.

"Nanti kamu pindahnya ke sekolah Rey aja, ya. Biar ada temennya."

"Kita beda angkatan. Aku gak peduli meski gak ada Rey sekalipun, aku bisa sekolah sendiri dan cari teman sendiri." Dava menjawab malas ucapan Elisa. Di belakang, Alvin berusaha tak terpengaruh, meski tak mungkin jika dia tak merasa tersindir karenanya.

"Bukan gitu maksud mama—"

"Kalau gitu biarin aku sekolah sesukaku."

Elisa menelan ludah. Mengangguk pasrah. "Iya."

Mereka sampai di rumah. Alvin membantu mengeluarkan barang-barang Dava dari bagasi. Namun, sepertinya sang empunya tak menyukai bantuan darinya, karena ketika Alvin mengangkat tas miliknya tiba-tiba dia datang dan merebut tas itu paksa.

"Jangan sentuh barang-barang gue," ucap Dava tajam. Tatapannya menghunus nyalang, menyorotkan kebencian yang mendalam.

Walau Alvin sebenarnya ikut tersulut emosi, Alvin memilih mundur tanpa membalas. Ia tak mau membuat mamanya sedih melihat kedua anaknya bertengkar. Segera melenggang pergi masuk ke rumahnya.

DARKSIDEWhere stories live. Discover now