Dua - Siapa?

3 4 6
                                    

"Sekeliling Jani emang menarik, tapi kamu yang ngubah itu semua jadi ngebosenin. Cuma kamu satu-satunya hal yang boleh jadi menarik. Ya, 'kan?"
–Anjani Putri Citrawati

***

Bunyi bel istirahat membuat murid-murid menghela napas lega. Apalagi untuk murid-murid 10 IPA 1 yang baru saja selesai pelajaran matematika.

Sekar melirik Anjani yang masih berkutat dengan bukunya. Ia menyenderkan punggungnya pada kursi dan bermain handphone sembari menunggu Anjani.

"Kok kalian lama, sih?! Gue tungguin juga."

Sekar mendengkus kesal. Kedatangan Sinta yang tiba-tiba membuat jantungnya hampir loncat.

"PR, tuh, kerjain di rumah, bukan di sekolah." Sinta berkacak pinggang menatap Anjani yang tidak menghiraukan keberadaannya. "Anjani! Gue ngomong sama lo!"

"Iya tau, bentar dulu ini udah mau selesai." Anjani menjawab tanpa menoleh sedikit pun pada Sinta. Ia terus saja menulis, hingga pada baris terakhir, ia menghela napas lega. "Yes! Nggak ada PR di rumah."

"Kebiasaan banget, baru juga dikasih PR udah dikerjain aja. Bagi, yah, nanti. Kelas gue abis ini mapelnya. Otomatis dikasih PR juga nanti."

Anjani memutar bola matanya malas. "Huu, nggak tau diri, dasar! Tadi mencak-mencak karena Jani ngerjain PR, sekarang malah minta bagi."

"Sesungguhnya berbagi itu indah dan lo nggak boleh pelit sama sahabat sendiri. Gue kutuk, mampus lo." Sinta mengibaskan rambutnya berlagak benar.

"Kantin."

Anjani dan Sinta hanya mengangguk membalas ucapan Sekar. Sebenarnya Sinta ingin protes karena ucapan Sekar hanya satu kata. Terdengar menyebalkan di telinganya.

Sesampainya di kantin, Sekar dan Sinta duduk terlebih dahulu. Ketika Anjani ingin ikut duduk, Sinta menahannya. Anjani pun memandang Sinta bertanya.

"Pesen makanan sana! Bakso tiga, yah. Jangan lupa es jeruknya."

Anjani menghela napas pasrah. Ia berbalik menghampiri Pak Teno yang menjual bakso. "Pak, bakso sama es jeruknya tiga, ya."

"Sekedap nggih, Mbak." (Sebentar ya, Mbak)

Anjani hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Entahlah, dirinya males ngomong, apa jangan-jangan ketularan Sekar? Anjani menggelengkan kepalanya. Ngawur!

"Ajeng dibantu nopo mboten, Mbak? Nampannya lagi habis dipake nganter ke meja-meja." (Mau dibantu apa enggak, Mbak)

Anjani mengangguk-angguk mengiyakan. "Iya, deh, Pak. Jani nggak bakal bisa bawa tiga mangkuk sama es-nya sekaligus."

Anjani berdecak kagum melihat Pak Teno membawa dua buah mangkuk dan tiga gelas sekaligus. "Hebat banget, Pak! Jani mana bisa kayak gitu."

"Semuanya tau, awakmu ceroboh, Nduk." (Dirimu)

Jawaban Pak Teno membuat Anjani meringis. Tentu saja semuanya tahu akan hal itu, kecerobohan Anjani sudah tersebar di mana-mana.

Anjani pun mengikuti langkah Pak Teno menuju mejanya.

"Jani, tali sepatu-"

Terlambat!

Langkah Anjani oleng. Saat akan jatuh, tiba-tiba saja ada yang menahan pundaknya. Tak hanya pundak, tapi juga mangkuknya, jadi kuah bakso tadi masih aman.

"Hati-hati, Jani. Sini, gue bawain mangkuknya."

Rama mengambil mangkuk Anjani, tapi Anjani menahannya. Rama pun bingung dengan maksud Anjani.

DescolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang