Tujuh belas - Malam yang Tidak Menyenangkan

0 0 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu, tapi Anjani masih duduk di depan kelasnya dengan tenang. Matanya tak lepas dari ponsel yang berada di genggamannya dan pikirannya terus berkelana mencari tahu di mana letak kesalahannya.

Setelah dipikirkan berkali-kali, Anjani menyangka jika dirinya berbuat sesuatu yang tidak disenangi oleh Arjuna, makanya Arjuna menjauhinya. Yah, meskipun itu hanyalah pikiran positifnya. Ia berusaha keras menghalau bayangan-bayangan negatif yang akan membuat otak dan hatinya semakin kacau.

Sekolah semakin sepi. Tidak ada ekstrakurikuler yang diadakan hari ini. Katanya, gara-gara guru akan mengadakan rapat dengan sekolah lain, makanya murid-murid diusir lebih dulu. Anjani pun seharusnya pulang, tapi ia berhasil mengelabui satpam. Kedua sahabatnya juga sempat menyeretnya paksa, tapi Anjani keukeuh menolak. Ia ingin tetap di sini.

Satu jam kemudian, Anjani bangkit dari duduknya. Gadis itu kemudian mengeluarkan susu kotak dan meminumnya.

"Ah, susu kotak emang yang terbaik," gumamnya sambil berjalan santai.

Ketika sampai di halaman luar, Anjani sempat melirik ke tempat di mana Arjuna biasa memarkirkan motornya. Tidak ada perubahan apa pun dalam raut wajah Anjani, tapi di dalam hatinya, terasa sangat menyesakkan.

Well, jangan berpikir bahwa Anjani sedari tadi menunggu kedatangan Arjuna. Tidak, ia hanya ingin menyendiri dan menikmati kesepiannya. Pulang kali ini pun, gadis polos itu tidak memberitahu sang ayah, melainkan memilih untuk berjalan kaki.

Anjani tentu tidak memilih jalanan besar yang ramai akan truk kontainer, bus, atau semacamnya yang akan mengganggu jalan santainya karena udara yang tidak enak. Gadis itu memilih untuk melewati jalanan yang lebih kecil dengan banyak rumah penduduk.

Ey, jangan lupa jika Anjani tidak bisa kalem dan benar-benar tenang. Gadis periang itu sudah mampir ke beberapa warung dan membeli cemilan untuk menemani perjalanannya.

"Wah, niki wonten hadiahe, Bu?" Mata Anjani berbinar melihat snack kentang pedas dengan tulisan 'berhadiah' pada bungkusnya. (Wah, ini ada hadiahnya, Bu?)

"Iyo, Mbak." (Iya, Mbak)

Tanpa berpikir lagi, Anjani langsung mengambil dua bungkus. Toh, jajanannya sebelumnya sudah habis dan ini baru setengah perjalanan ke rumah. Anjani juga mengambil beberapa jajanan berhadiah yang lainnya. Setelah dirasa cukup, ia baru melanjutkan perjalanan.

Melewati persawahan adalah yang paling gadis itu sukai. Apalagi hanya sedikit sekali orang-orang yang ada di sekitarnya. Hanya satu dua orang. Di pinggir jalan, pohon-pohon dengan dedaunan yang cukup lebar berjejer sehingga tidak membuat Anjani kepanasan. Sungguh, tahu begini Anjani akan memilih untuk jalan kaki setiap hari. Yah, meskipun hanya saat pulang sekolah karena waktu lebih lama dan juga uang jajan yang terkuras lebih banyak dibanding biasanya.

Sangat menenangkan pikirannya. Hatinya pun tidak lagi gelisah atau nyut-nyutan karena Arjuna. Ia bahkan lupa sejenak dengan masalahnya. Otaknya memang sedang berkicau tentang banyak hal, tapi itu adalah hal-hal random yang terlihat di matanya. Misalnya, ada berapa padi yang di tanam? Bagaimana kehidupan para belut yang ada di sawah-sawah? Kenapa burung takut turun ketika ada kaleng berbunyi? Dan masih banyak lagi. Bahkan kerikil yang diinjak pun ia pikirkan.

Satu jam lebih lima menit, Anjani baru memasuki perumahannya. Gadis cantik itu sudah kembali menyedot susu kotaknya yang ia beli di supermarket sekalian stok. Sesampainya di rumah, ia langsung mengganti pakaiannya dan merebahkan diri di ranjang.

Ah, nyebelin! Harusnya Jani jangan diem aja. Lagi-lagi ia terpikirkan Arjuna. Padahal sudah bagus tadi ia melupakan laki-laki itu.

Ting! Ting! Ting!

DescolarWhere stories live. Discover now