Sepuluh - Over Thinking

1 0 0
                                    

"Manis, kamu terlalu manis, bahkan kata candu aja masih kurang."
–Rama Antareja

***

Arjuna terus memperhatikan rambut Anjani yang bergoyang ke kiri dan ke kanan di tiap langkah Anjani. Lucu. Ia mengulum senyumnya. Sungguh, ia dirinya gemas dengan Anjani saat ini. Ingin rasanya memeluk gadis itu dengan kencang dan memainkan pipi tembamnya. Well, Arjuna langsung memutuskan untuk masuk sekolah setelah hasil CT scan itu keluar karena ia malas jika terlalu banyak tiduran. Untungnya, hasilnya adalah ia tidak kenapa-kenapa. Tidak ada keretakan tulang atau hal-hal membahayakan lainnya.

Saat ini, keduanya sedang berada di koridor kelas sepuluh. Arjuna yang memaksa untuk mengantar Anjani hingga ke depan kelas. Anjani sempat berpikir untuk menolak karena ia malas dijadikan gibahan murid lain, tapi setelah dipikir kembali, itu menguntungkannya. Siapa yang tahu jika Arjuna besok-besok menjadi kulkas dan tembok berjalan yang bahkan tidak akan mengantar-jemput Anjani.

Nggak! Nggak! Nggak! Anjani menggeleng. Arjuna sudah menjadi pacarnya saat ini, sudah pasti cowok itu akan tetap menjadi tukang ojeknya bukan? Ah, memikirkan bahwa ia benar-benar berpacaran dengan cogan di sekolahnya membuat pipinya kembali bersemu. Gadis itu kini harus berusaha untuk tidak berteriak.

Berbanding terbalik dengan Arjuna yang mengepalkan tangannya dan mengalihkan pandangannya. Sungguh, ia sangat-sangat ingin mendekap gadis itu. Apalagi saat tadi Anjani menggeleng dan membuat rambutnya semakin bergoyang. Di matanya, gadis itu sangat-sangat imut dan menggemaskan.

Koridor ini masih sepi. Tentu saja karena saat ini masih sangat pagi untuk berangkat, tepatnya pukul enam lebih lima belas. Hanya ada beberapa murid yang sudah berangkat dan itu pun hanya duduk di dalam kelas atau belajar.

"Ah, udah sampe." Anjani membalikkan badannya dan tersenyum riang. "Makasih udah nganterin Jani. Kak Ar jangan bolos, ya."

Arjuna mengangguk ringan. Entah ia akan melakukannya atau melanggarnya, tergantung situasi nanti.

"Ya udah Kak Ar pergi dulu, Jani liatin, hehe," ucap Anjani, tangannya membuat gerakan mengusir.

Arjuna memicingkan matanya, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Anjani. Tentu saja hal ini membuat Anjani gugup dan takut, matanya pun sudah bergerak ke mana-mana, memastikan tidak ada orang yang melihat tingkah mereka.

Tawa kecil keluar dari bibir Arjuna ketika sadar betapa gugupnya Anjani. Tangannya langsung mengacak rambut Anjani dan melangkah pergi begitu saja.

"Allahuakbar, Kak Ar emang beneran ganteng, apalagi dari deket gitu. Bismillah semoga jodoh, lumayan memperbaiki keturunan. Ugh, yang tadi itu ... argh!" gemas Anjani lalu masuk ke kelas sambil menggigiti kuku jarinya.

Satu per satu murid berdatangan, kelas yang tadinya kosong kini mulai ramai. Ada yang tertawa, berbisik, atau bicara biasa, keramaian yang membuat pusing.

Sepuluh menit sebelum bel berbunyi, Sekar dan Sinta baru datang. Keduanya langsung bergegas menuju Anjani. Ada yang ingin mereka ketahui sejak kejadian di rumah sakit.

"Janiiii! Yang kemarin itu serius? Lo bercanda doang, 'kan? Ngaku! Masa iya kodok zuma kek lo dapetin pangeran khayangan?" tanya sekaligus tuduh Sinta dengan suara tertahan. Tentu agar murid lain tidak mendengarnya.

Anjani jelas tersinggung. Enak saja! Manusia cantik gini dibilang kodok zuma! Ia memelototi Sinta dengan sebal. "Jani itu cantik, buktinya kemarin jadi Ratu Angkatan." Gadis itu mengibaskan rambutnya sombong.

Ucapannya membuat Sinta mendelik. "Nggak usah songong. Itu, tuh, panitianya yang salah ucap, tapi karena nggak pengen malu, jadilah dibiarin aja."

Sekar meliriknya sinis. "Iri, tuh, bilang, bukan ngumbar ocehan."

DescolarWhere stories live. Discover now