Tiga - Bertemu Arjuna

5 4 10
                                    

"Kamu manis, kayak lollipop. Bedanya, manisnya kamu nggak ada habisnya."
–Arjuna Saka Winanta

***

"Milih sendiri aja, Bu."
"Bu, saya gak mau sama Reza, ya. Mesum soalnya."
"Heh! Sembarangan lo kalau ngomong!"
"Halah, ngaku ajalah. Lo, 'kan, emang mesum."
"Gue tuh anak baik-baik, calon ustadz, nih."
"Aamiin aja, deh, siapa tau lo emang tobat."

Anjani menggeleng pelan. Tak menyangka kelasnya bisa seribut ini hanya karena pembagian kelompok.

"Buset, kelas siapa, sih, ini? Berisiknya melebihi pasar."

Anjani menoleh menatap Sinta yang juga menggelengkan kepalanya pening. "Besok-besok kayaknya Jani harus coba bangun pasar hening, deh."

Anjani meletakkan telunjuknya di dagu. Ia menatap ke atas, membayangkan dirinya berhasil membangun sebuah pasar yang jauh dari kata ramai.

Salsa yang duduk di seberang memutar bola matanya malas. "Heh! Yang namanya pasar, tuh, rame, mana ada pasar hening?!"

Anjani memicingkan matanya. Ia mendengkus kesal karena nada Salsa yang selalu seperti ibu-ibu kos menagih uang kosan, sebelas dua belas dengan Sinta. "Makanya Jani bilang, Jani mau bangun. Ngerti ora, sampeyan?" (Ngerti gak, lo?)

"Pasar rame karena penjualnya pada teriak buat narik perhatian pembeli, belum lagi tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang kadang butuh cekcok."

"Ya nggak usah cekcok, dong. Kayak bunda Jani aja, ke pasar bikin drama. Harga tiga ratus, nawarnya seratus, ya jelas nggak terima, dong, penjualnya. Eh, bunda malah pergi, padahal dalem hati, "Ah, ntar juga penjualnya manggil lagi terus setuju." Hadeuhh, dasar emak-emak." Anjani berdecak heran saat mengingat kejadian di mana dirinya mengantarkan ibunya ke pasar.

"Terus? Penjualnya beneran manggil?"

Anjani terkekeh geli. "Ora, rugi banyak, dong, kalau nurutin bunda Jani." (Enggak)

"Jani," panggil Sekar pelan. Tentu saja karena Bu Ambar sudah menatap sahabatnya ini dengan tajam.

Salsa berdecak. "Ye, gue kira beneran dikasih."

"Tapi pernah, kok, my mom kayak gitu terus dikasih, deh, sama penjualnya. Tergantung kayaknya."

Sekar mengembuskan napas pelan. Percuma saja, ya sudahlah, biarkan Anjani menerima omelan.

Salsa mengangguk paham. Sepertinya dia akan mengajarkan mamanya trik tersebut. "Ntar, deh, gue coba-"

"Ehem! Salsa! Anjani! Sudah selesai gibahnya?"

Salsa meringis mendengar suara Bu Ambar yang menggelegar. "Enggak gibah-"

"Eh, kita, tuh, lagi ngomongin masa depan, Bu. Tadi saya sama Sinta ngomongin kelas ini yang ramenya kayak pasar. Kasian, loh, pasar nggak tau apa-apa, tapi disalahin mulu. Jadilah saya dapet ide buat bangun pasar hening. Nanti orang-orang nggak bakal sangkut-pautin keramaian sama pasar lagi."

Salsa melongo mendengar penuturan Anjani yang begitu jujur. Ia menepuk jidatnya berharap bu Ambar tidak marah.

"Bagus juga-"

"Iya, dong, Bu. Jani gitu, loh." Anjani tersenyum bangga karena bu Ambar memujinya.

"Kenapa nggak kamu mulai dari kelas kamu sendiri? Bikin kelas kamu hening kalau saya atau guru-guru lain lagi ngajar?"

Anjani yang ditanya demikian langsung gelagapan. Ia sadar jika kelasnya adalah kelas terberisik dibanding kelas-kelas lainnya. Namun, guru-guru tetap sabar karena kelas Anjani-lah yang sering mengharumkan nama sekolah dengan berbagai prestasinya. Sebut aja kelas mereka kelas unggulan. Kenapa mereka berisik? Sebenarnya sebagai pelampiasan karena otak mereka yang selalu dijejali dengan banyak sekali materi tiap harinya. Lebih dari kelas biasanya.

DescolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang