Lima - Mengobati

1 1 0
                                    

"Lakukan sesukamu, dan jika terluka, kemarilah! Aku selalu siap untuk mengobatimu."
–Anjani Putri Citrawati

***

"Si Bima Sakti itu gimana, sih?! Kemarin ngilang, sekarang disuruh nunggu. Lo yakin dia nggak PHP lagi, Jan?" tanya Sinta dengan jengkel. Gadis itu dari tadi terus saja mengumpati Bima saat setelah Anjani menceritakan kejadian kemarin padanya.

Iya, kemarin malam Bima memberi pesan pada Anjani untuk meluangkan waktunya sepulang sekolah agar mereka bisa mengerjakan tugas biologi. Namun, kini justru mereka diminta untuk menunggu di pinggir lapangan dan itu sudah satu jam.

Mata Anjani mengarah tepat pada Bima yang kini berdiri di pinggir lapangan dan mengamati anggota futsal yang sedang bertanding. "Enggak akan. Tuh, Bima aja keliatan jelas banget. Kalau dia mau pergi tinggal Sekar atau Sinta seret aja nanti."

"Ogah, ngapain gue ngurusin orang kek dia," ketus Sinta. Gadis itu terlanjur kesal dengan Bima.

"Arjuna ke mana?" tanya Sekar tiba-tiba. Namun, mata gadis itu hanya menatap kedua sahabatnya sekilas lalu kembali menatap ponsel.

Ctak!

Sebuah sentilan yang lumayan kencang berhasil membuat kening Sekar sedikit merah. Gadis itu langsung menatap Sinta tajam.

Sinta tak takut, justru malah balik menantang. "Lo lola atau pikun atau nggak ngedengerin, sih?! Kan tadi Jani udah bilang kalau Kak Arjuna lagi ada urusan, makanya dia minta Bima gantiin dia ngelatih anak-anak futsal sebentar. Nanya lagi gue lempar sepatu."

"Oh."

"Tahan gue, Jan! Tahan! Pengen banget gue gorok lehernya!"

Anjani hanya tertawa, apalagi saat Sinta melepas sepatunya dan bersiap memukul Sekar.

"Sahabat lo gila, Jani," gumam Sekar yang sudah bergeser menjauh dari Sinta.

Mengangguk setuju, Anjani langsung menahan tangan Sinta yang ngotot ingin memukul Sekar. Sebenarnya Anjani tahu jika Sinta tidak akan benar-benar melakukannya, tapi tetap saja. Siapa yang tahu jika tiba-tiba Sinta kerasukan arwah dan memukul Sekar. Namun, di dalam hatinya, Anjani sangat berterima kasih pada dua sahabatnya karena sudah membuatnya tertawa bahagia.

"Udah, ya. Jani tau Jani cantik, nggak perlu rebutan gitu, oke? Jani cuma punya Kak Ar, sama Kak Raden, sama Rama juga. Nggak perlu halu terlalu tinggi buat kalian berdua dapetin Jani yang imut, kyut, sangat-sangat menggemaskan ini." Anjani meletakkan kedua tangannya pada pipinya seraya tersenyum imut.

"Halu lo yang ketinggian! Sejak kapan gue restuin lo sama tiga orang yang lo sebut tadi?! Inget, ya, restu besti itu sangatlah penting, kedua setelah restu orang tua. Tanpa restu gue, lo nggak bakal bisa sama salah satu dari mereka, atau siapa pun," kecam Sinta dengan penuh penekanan.

Anjani memanyunkan bibirnya sebal. "Harus didukung, dong. Kapan lagi Anjani punya cowok cakep, 'kan? Ini namanya rencana memperbaiki keturunan–"

"Lo masih bocah, nggak usah mikir jauh-jauh," potong Sekar yang tetap setia pada ponselnya. Sebenarnya, gadis itu tidak mengabaikan kedua sahabatnya ataupun sekelilingnya. Ia juga tahu bahwa seharusnya jika sedang mengobrol lebih baik untuk menatap lawan bicara dan tidak fokus pada handphone, tapi ia juga malas untuk ikut campur.

"Ya ya ya." Tatapan Anjani kembali pada Bima yang kini sedang berdiri di depan para anggota futsal yang sudah selesai bertanding, lebih tepatnya itu seleksi karena sebentar lagi akan ada pertandingan persahabatan.

"Buat hari ini udah cukup. Data tentang siapa aja yang bakal ikut tanding bakal dikirim nanti di grup, pastiin kalian online nanti malem. Yang terpilih nanti bukan cuma buat pertandingan persahabatan, tapi juga buat turnamen. Buat yang nggak kepilih nggak usah sedih, kecewa, dan sebagainya, gue cuma mau bilang ... artinya kemampuan kalian belum cukup. Jangan gampang nyerah dan terus latihan. Inget, setelah turnamen kita juga bakal langsung seleksi buat lomba berikutnya. Jaga kesehatan, salam buat keluarga kalian di rumah. Bubar!"

DescolarDove le storie prendono vita. Scoprilo ora