Sembilan - Tertembak

1 1 2
                                    

"Nggak masalah kalau lo semua jadiin gue candaan, selagi kita masih bisa bareng-bareng dan masih dalam titel sahabat."
–Renggana Pandu Rajaya

***

Bel pulang sekolah kali ini membuat Anjani benar-benar bahagia. Tentu karena memang dari awal ia tidak berniat untuk pergi ke sekolah jika bukan paksaan dan seretan dari keempat sahabat Arjuna, terutama Pandu. Mengingat itu, membuat Anjani kembali jengkel. Ia pun bertekad memusuhi Pandu mulai dari pagi tadi.

Sama seperti ketika berangkat, kini saat pulang sekolah pun Anjani bersama dengan empat cogan Alengka. Bedanya, kini ia menjadi pusat perhatian banyak murid. Apakah Anjani risih? Tidak, gadis itu justru sibuk beradu mulut dengan Pandu.

"Dengerin gue, ya. Gue besti sama Arjuna udah lama. Pasti dia nggak akan dengerin kata-kata lo."

"Kalau KaPan emang mikir gitu, harusnya nggak perlu panik, dong. Ini, kok, paniknya keliatan banget?" Anjani menatap Pandu meledek.

Bima menutup mulutnya menahan tawa. "Dia, tuh, keknya emang panik dari pagi, deh."

"Nggak salah, kok. Di kelas aja kek cacing kepanasan," sahut Raden dengan tanpa bersalah.

Rama mengangkat bahunya santai. "Yah, mau gimana lagi? Abis ini juga dia bakal menghadap ilahi. Ah, apa kita harus siap-siap buat makan gratis nasi kotak?"

Pandu mengusap wajahnya kasar. Laki-laki itu mengepalkan tangannya dan menunjukannya di depan wajah Anjani seakan-akan ingin meninju gadis itu.

Anjani secara refleks menutup matanya. Raut wajahnya pun seakan ketakutan.

Cekrek!

Setelah bunyi itu, Anjani menatap Bima dengan bahagia. "Gimana?"

"Aman, Sayang. Udah gue kirim juga, nih." Laki-laki itu menunjukkan layar handphone-nya yang menampilkan room chat dirinya dengan Arjuna. Bersamaan dengan itu, sebuah notifikasi masuk, membalas foto yang dikirim Bima.

Bang Juna

Send a picture

Srt Pandu!

"Wah! Wah! Disuruh nyeret KaPan! Ayo, KaPan! KaPan nggak boleh jalan kaki, harus diseret!" sorak Anjani riang. Mata besarnya pun berbinar menggemaskan.

Pandu yang mendengar itu sontak memelototi Anjani. "Lo beneran mau bunuh gue, ya?"

Dengan santai Anjani mengangguk. Tak ada beban sedikit pun dalam anggukannya. "Udah, ayo sekarang–"

"Jani, tungguin gue!"

Teriakan dari Sinta membuat Anjani dan yang lainnya menoleh. Sekilas, Rama tersenyum tipis ketika melihat Sinta berlari ngos-ngosan menghampiri mereka.

"Oh, Sinta. Jani mau ke rumah sakit. Sinta mau ikut?" tanya Anjani memastikan.

Sinta mengangguk. "Ho'oh, bosen gue di rumah."

"Sip! Hari inu kita akan melihat eksekusi umum seorang Pandu Sukimin."

Berusaha menahan diri, Pandu terus beristighfar dan mengusap dadanya sabar. "Nama gue bagus-bagus lo ganti seenaknya. Bisa bayarin tumpengnya?"

"Ah, itu permintaan terakhir KaPan? Nanti dibikinin sama Sekar, ya. Dia holkay soalnya," jawab Anjani lugu.

Pandu pasrah. Laki-laki mendahului Anjani dan segera menuju motornya. Bukan marah, tapi lebih menghindari percekcokan lanjutan karena dia pasti akan kalah lagi. Ketiga sahabatnya pun hanya tertawa meledeknya tanpa berniat membantu sama sekali. Laknat bukan?

DescolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang