Enam belas - Lebih Dekat

0 0 0
                                    

Ting!

Anjani mengecek ponselnya dengan senyum riang sebelum kembali tertekuk masam.

Raih bonus 2 GB Anda sekarang!

Anjani mendengkus kesal. Sudah sejak kemarin ia menunggu kabar dari Arjuna. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak menghubunginya. Anjani juga sempat meneleponnya dan mengirimkan pesan, tapi sama sekali tidak dibalas. Hal ini jelas membuat gadis riang ini over thinking.

"Cantik, ayo sarapan!"

Itu teriakan dari Panji, ayah Anjani. Akhir-akhir ini Panji memang lebih sering ke luar kota untuk urusan bisnis, pulang pun pasti tanpa pemberitahuan. Seperti hari ini.

Senyum Anjani langsung muncul begitu mendengar suara sang ayah. Gadis itu bergegas turun dari ranjang dan membuka pintu.

Di sana, Panji sudah merentangkan kedua tangannya yang disambut pelukan oleh Anjani. Laki-laki paruh baya itu segera menggendong putrinya seperti koala. Tentu saja ini memang kebiasaan mereka, dan untungnya Panji masih kuat untuk melakukannya.

"Ayah kebiasaan, deh. Kenapa Jani nggak dikasih tau dulu kalau mau pulang?" tanya Anjani yang masih berada dalam gendongan Panji.

"Biar surprise, dong. Seneng nggak?" Panji mengusap rambut panjang Anjani dengan lembut. Sungguh, ia sangat menyayangi putri satu-satunya ini.

Anjani mendongak. Kedua tangannya masih dikalungkan di leher Panji. Gadis itu menatap ayahnya lamat-lamat lalu tersenyum manis.

"Seneng banget! Ayah jam berapa pulangnya?"

"Hm ... jam dua, mungkin? Ayah nggak begitu merhatiin jam soalnya. Yang jelas, anak Ayah ini udah bobo duluan."

Keduanya terus berbicara sambil menuju ruang makan. Anjani pun banyak bercerita tentang kehidupannya, juga tentang sahabat-sahabatnya.

Sampai di ruang makan, Panji mendudukkan Anjani di salah satu kursi lalu ikut duduk di kursi lainnya.

Putri pun segera mengambilkan sang suami makanan. Tidak hanya Panji, tapi Anjani juga diambilkan olehnya. Bukan maksud memanjakan, tapi ia senang melakukannya.

"Bunbun, nggak ada susu kotak?" tanya Anjani memandangi keseluruhan meja di mana hanya ada nasi, lauk pauk, buah, dan air putih.

"Bunda lupa beli, Sayang. Nanti kamu beli aja sama Ayah."

"Emang abis, ya? Perasaan kemarin masih banyak," gumam Anjani.

"Emang siapa yang ngabisin? Kamu sendiri, 'kan?"

Anjani hanya menunjukkan cengirannya pada Panji. Memang benar bahwa di rumah ini yang suka minum susu kotak hanyalah dirinya. Sudah jelas bahwa yang menghabiskan stok susu kotak juga Anjani. Semalam, gara-gara terus kepikiran Arjuna, gadis itu sulit untuk tidur. Alhasil, ia mengambil beberapa susu kotak dan meminumnya hingga ngantuk.

"Kamu mau berangkat sama pacar kamu itu apa sama Ayah?"

Itu pertanyaan dari Panji. Bagaimana bisa tahu? Jawabannya sudah jelas dari Putri. Anjani sendiri juga tidak kaget karena ia tahu jika sang bunda pasti akan menceritakannya pada ayah.

"Sama Ayah, dong," jawab Anjani semangat. Kenapa? Karena jarang-jarang ia bisa diantarkan oleh Panji. Panji sering sekali terlalu sibuk, entah ke luar kota atau berangkat terlalu pagi pulang tengah malem. Maka dari itu, kesempatan ini Anjani tidak mau menyia-nyiakannya.

Sesuai yang diinginkan oleh sang anak, Panji akhirnya mengantarkan Anjani ke sekolah setelah sarapan. Di dalam perjalanan, Anjani tetap berceloteh banyak hal. Entah penting atau tidak, semuanya ia ceritakan. Saat itu pun pikiran berlebihannya tentang Arjuna tiba-tiba saja hilang. Gadis itu malah tidak ingat jika sedang menunggu kabar kekasihnya.

Sesampainya di sekolah, Anjani langsung turun. Tentu saja setelah berpamitan. Gadis itu celingukan menatap sekitar, pandangannya pun jatuh pada parkiran motor tempat Arjuna dan para sahabatnya biasa memarkirkan motor mereka. Di sana, ada Arjuna yang sudah akan pergi dengan Agni di belakangnya.

Anjani terdiam. Dapat ia simpulkan bahwa Arjuna dan Agni berangkat bersama hari ini. Mata Anjani tidak lepas dari kedua insan tersebut sampai keduanya menghilang masuk ke lingkungan dalam sekolah.

Tak perlu ditanyakan, dada Anjani rasanya sesak. Sambil menggigit bibir bawahnya, Anjani berusaha menenangkan pikirannya. Gadis itu memutuskan untuk menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Terus ia ulangi hingga sesak dalam dadanya berkurang.

Sebenarnya, Anjani tadi ingin berlari dan bertanya kepada Arjuna tentang banyak hal, tapi melihat Agni yang berada di dekat laki-laki itu membuatnya memilih untuk membiarkan mereka. Selain itu, yang menjadi pertimbangan Anjani adalah karena ekspresi Arjuna terlihat baik-baik saja dan bahkan senang.

Positif thinking! Harus! Ayo, Jani! Kamu nggak boleh suujon. Anjani menggeleng kuat, menyemangati diri sendiri. Setelah itu, ia langsung menuju kelasnya.

Ternyata, bukan hanya dirinya saja yang merasa Arjuna aneh karena sesampainya ia di kelas, Sinta dan Sekar langsung menanyakan kepadanya.

"Lo tadi nggak bareng Kak Juna, 'kan? Kenapa? Kalian berantem? Kok dia sama Kak Agni? Kalian putus, ya? Baru juga jadian belum lama masa udah putus, sih, Jan? Ah, tapi abis itu Kak Juna langsung deket sama Kak Agni. Jangan-jangan rumor dia playboy emang bener, ya? Parah! Lo mau gue apain dia, Jan?!"

Anjani mengedipkan matanya kaget. Gadis itu bahkan belum duduk, tapi sahabatnya sudah melontarkan pertanyaan sebanyak itu.

"Duduk, Jani," sela Sekar sambil menatap tajam Sinta.

Anjani menurut. Gadis itu segera duduk di bangkunya lalu mengeluarkan satu susu kotak dan meminumnya. "Sinta kepo."

"Heh!" Sinta melotot. Gadis itu sangat sebal dengan jawaban Anjani. Mana cuma pendek lagi, setelah dirinya bertanya panjang lebar dan segitu banyaknya. "Gue nanya karena gue nggak mau lo jadi bego! Denger, ya-"

"Iya iya. Udah. Nanti Jani ceritain kalau udah pasti. Oke?" Anjani tersenyum manis. Raut wajahnya pun seolah ia tak ada masalah apa-apa, masih sama seperti biasa.

Kedua sahabatnya tahu, mereka sudah hafal dengan kebiasaan Anjani yang tidak menceritakan masalah secara langsung. Bahkan biasanya ketika sudah selesai, baru gadis itu bercerita. Terkadang Sinta maupun Sekar merasa sangat kesal dan ingin marah, tapi di sisi lain Anjani juga punya hal yang mungkin hanya boleh diketahui oleh dirinya saja. Bukankah setiap orang punya privasi? Yah, meskipun Sinta dan Sekar tetap merasa bahwa mereka seakan tidak berguna karena tidak membantu apa-apa.

Perbincangan pun berlanjut, tapi topiknya berbeda. Hingga bel berbunyi dan Sinta harus bergegas menuju kelasnya.

Dari jam pelajaran pertama dimulai hingga istirahat kedua, Anjani sama sekali belum menemui Arjuna. Bukan karena gadis itu tidak berusaha, tapi justru Arjuna yang menghindarinya. Anjani sudah mencoba datang ke kelas Arjuna, tapi Arjuna lebih dulu pergi dengan Agni. Ketika Anjani menelepon Arjuna pun, laki-laki itu tidak mengangkatnya. Dari sini Anjani sadar, Arjuna tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak tahu alasannya.

Kelas hampir dimulai lagi, Anjani terburu-buru melewati koridor. Tadi, ia ke toilet dulu untuk membersihkan roknya yang terkena tumpahan susu ketika di kantin, dan bel sudah berbunyi saat ia masih di dalam toilet.

"Kita nggak bisa terus-terusan kayak gini asal lo tau. Buat keputusan lo, Jun. Secepatnya."

"Jangan diem aja, dong! Lo, tuh, arghh! Kenapa, sih, dari dulu nggak pernah berubah?!"

Itu suara Agni, dan pasti ada Arjuna juga bersamanya. Suara itu berasal dari bawah tangga. Anjani jadi semakin over thinking mendengar kalimat Agni. Namun, ia tidak ingin menguping pembicaraan orang lain sehingga gadis itu memilih untuk pergi dengan hati yang terasa lelah.

Sebenernya kenapa, sih?

***

DescolarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang