Dua puluh - Oh, Jadi Gitu

0 0 0
                                    

"Gue marah karena gue sayang sama kalian."
–Sinta Pregiwati

***

"Ke mana?"

"Ke mana aja bukan urusan lo."

Tatapan tajam itu menghunus sampai ke hati Arjuna. Ingin rasanya ia terjun ke dalam lautan dan membebaskan diri dari semuanya, tapi sayang itu tak bisa dilakukan. Kini laki-laki dingin itu hanya bisa menatap kepergian Agni dengan helaan napas berat.

"Jani jangan lari-lari! Kalau nyungsep jangan nangis, ya!"

Itu teriakan Sinta. Arjuna pun menoleh, ia penasaran alasan gadis itu heboh pagi-pagi, lebih tepatnya, Arjuna penasaran dengan nama yang disebutkan Sinta. Yap, Anjani.

Gadis polos itu sedang berkacak pinggang dengan mata lucunya yang melotot. "Jani bukan anak kecil! Sinta kayak Bunbun, deh. Marah-marah mulu kerjaannya."

Arjuna tersenyum tipis. Lega karena gadis yang sampai saat ini masih ada di hatinya itu sudah bisa riang kembali. Tidak seperti kemarin yang hanya muram dan diam.

Kemarin, ketika melihat Anjani yang berbeda dari biasanya, tak banyak bicara, tak banyak tingkah, dan ketika Arjuna sadar alasannya, dadanya seakan diremas kencang. Sakit juga perih yang sangat ia benci malah hadir kembali. Oleh karena itu, saat bertemu Anjani di bawah pohon besar, laki-laki itu langsung mengutarakan inti dari apa yang ingin ia utarakan, meskipun tidak sepenuhnya karena itu akan merusak semuanya.

Setelah puas memandangi wajah Anjani, Arjuna berbalik dan menuju kelasnya. Ia tak perlu berlama-lama menahan sesak di sana.

***

"Jani, Kak Ar liatin lo tadi, lama banget," ucap Sinta dengan nada sedikit tak suka.

"Itu karena Jani cantik. Biasa aja, Sinta, nggak usah iri gitu." Anjani mengibaskan rambut yang digerainya dengan pede.

Sinta mendorong pundak Sekar pelan. "Ruqyah, tuh, sahabat lo."

Sekar mengangguk setuju. "Ya, nanti sekalian lo juga."

"Kok gue? Sekar, lo masih bener, 'kan, pendengarannya? Gue nyuruh ruqyah Anjani AN JA NI, bukan gue."

"Sekalian."

"Gue normal. Nggak kenapa-kenapa."

"Aura lo penuh sama kegelapan, kek idup lo."

"Cangkemmu!" (Mulut lo!)

Dengan sepenuh hati, Sinta memukul lengan Sekar kencang.

Anjani sendiri sudah tertawa terbahak-bahak. Ya, ia mentertawakan Sinta yang diledek oleh Sekar. Senang sekali rasanya melihat raut wajah kesal gadis pemarah itu.

"Nggak usah ketawa, Jani!" omel Sinta, telunjuknya menuding Anjani kesal.

"Nggak sopan, loh, nuding-nuding orang," balas Anjani dengan sisa tawanya. Tangannya menutup telunjuk Sinta lembut.

Sinta mencibir lalu menghempaskan tangan Anjani begitu saja. Gadis itu lalu beranjak meninggalkan kedua sahabatnya. "Awas, ya, besok-besok nitip susu kotak. Nggak bakal gue beliin!"

Sontak saja Anjani melotot. Tidak mungkin ia diam jika seseorang berkata tentang susu kotaknya. Bukannya apa, Anjani sering sekali malas ke kantin, jadi ia menitip pada Sinta atau Sekar. Selain itu, lebih sering gratisan karena Sinta menolak ketika Anjani ingin mengganti uangnya. Tenang saja, begitu mereka keluar untuk jajan bersama, Anjani yang akan mentraktir balik. "Nggak boleh gitu! Itu udah kewajiban Sinta tau!"

Gadis polos itu berlari menyusul Sinta, terlihat begitu menggemaskan, membuat rambutnya bergoyang ke kiri dan ke kanan. "Sinta, ih!"

"Matamu, kewajiban. Emoh emoh, tuku dewe. Ngadek mulane ora mung ndodok wae, males-malesan teros." (Matamu, kewajiban. Enggak mau nggak mau, beli sendiri, berdiri makanya jangan cuma duduk aja, males-malesan terus)

DescolarWhere stories live. Discover now