Delapan - Setan?

1 1 1
                                    

"Bagaimanapun sikapmu, kebaikan dalam dirimu tetaplah nyata. Tak bisa dibohongi dan tak bisa dipungkiri."
–Raden Astaninggra

***

Suasana kamar inap kini hening, hanya ada Anjani, Arjuna, dan Raden yang berada di ruangan Arjuna. Tadinya ramai oleh sahabat-sahabat Arjuna, juga Bu Yanti dan Pak Yanto yang mereka kenal sebagai orang tua Arjuna. Bisa dibilang mereka semua khawatir, padahal Arjuna biasa-biasa saja, meskipun memang masih terasa sedikit pusing dan juga sakit.

Raden menatap Anjani yang tertidur meringkuk di sofa. Laki-laki itu mendekat dan menyelimutinya dengan jaket miliknya. Tadinya Bima menyarankan untuk membawa karpet saja agar lebih enak, tapi Anjani menolak karena baginya terlalu merepotkan.

Setelah menyelimuti Anjani, Raden kembali ke tempat duduk di samping ranjang Arjuna. Ia menangkupkan wajahnya pada kedua lipatan tangannya yang berada di ranjang dan menyusul Anjani untuk tidur.

Pukul 02.00, Arjuna terbangun. Laki-laki itu menatap ke arah Raden yang tidur di dekatnya lalu menatap sekeliling. Pandangannya jatuh pada Anjani yang terlelap di sofa. Ck, bodoh! Ia kesal karena Anjani masih di sini dan bukannya pulang. Tentu saja itu karena ia khawatir. Tidur di sofa bukanlah hal yang nyaman. Ia memang tidur lebih awal tadi setelah melakukan CT scan pada kepalanya untuk mengecek apakah ada hal yang berbahaya atau tidak. Apalagi benturan yang diberikan ketua preman itu membuat dahinya berdarah, tentu tidak bisa diremehkan.

Wush!

Tiba-tiba saja semilir angin terasa menyentuhnya, membuat bulu kuduk Arjuna berdiri. Sial! Ia kini sedikit gugup. Matanya jelalatan menatap sekeliling dan tidak menemukan hal-hal aneh. Kedua tangannya kini memegang selimut dengan erat.

Yap, Arjuna takut horor, guys. Katanya, dibandingkan melihat hantu, ia lebih memilih untuk bertemu dengan seorang psikopat.

Senandung lagu mengalun lembut di telinganya. Arjuna tentu saja terkejut, meskipun hanya terdengar samar-samar dan sangat pelan, tapi semakin lama terasa semakin mendekat. Tidur! Tidur! Tidur! Laki-laki itu segera memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur. Namun sayang, alunan lagu itu semakin terdengar. Hingga ketika hening terjadi, Arjuna justru semakin panik.

"Hihii, pura-pura tidur ...."

Deg!

Bangsat! Jantung Arjuna rasanya seperti melompat. Bisikan itu terasa tepat di telinganya, bahkan ia bisa rasakan ada sedikit embusan. Tentu refleks membuat gerakan yang heboh, dan ketika ia membuka matanya ....

"Astaghfirullah!"

"Kenapa, sih? Gue kebangun, nih. Hoaaamm."

Arjuna mengusap dadanya di mana jantungnya sedang berpesta. Jelas sekali tadi ia menatap mata merah, tapi tiba-tiba hilang ketika Raden membuka mata dan berbicara. Dalam hatinya, Arjuna berterimakasih pada Raden karena berkatnyalah sosok itu menghilang.

Untuk memastikan, Arjuna kembali mengamati sekeliling. Tidak ada yang aneh. Hanya ada Anjani yang sudah tertidur pulas, Raden yang sepertinya tadi hanya bangun karena terkejut, tapi tidak sepenuhnya sadar, dan tentu dirinya yang was-was.

Setelah menetralkan detak jantungnya, Arjuna mencoba untuk tidur yang mana susah di awal, tapi entah sejak kapan ia sudah terlelap kembali. Tepat ketika ia terlelap, ada satu sosok yang mengintip dan menatapnya dari kaca pintu dengan senyuman lebar. Hanya sebentar, lalu sosok itu menghilang seperti terbawa embusan angin.

***

"Pergi!"

"Nggak."

Tatapan Arjuna terasa tajam. Memang membuat Anjani takut, tapi bukan Anjani jika ia menurut begitu saja. Tangan Anjani segera bergerak menutupi kedua mata Arjuna.

DescolarWhere stories live. Discover now