04. Something Else

231 52 178
                                    

"Ngapain ke sini?" Entah ini sebuah pertanyaan atau hanya sekadar basa-basi. Wajah tampan dengan rahang tegas itu hal yang pertama kali kulihat ketika membuka pintu utama.

Sebuah senyuman manis khas pemuda berdarah Jepang itu terukir tipis, tetapi jelas mampu membuatku terpaku beku. Aku tidak berbohong, sumpah demi Tuhan, Haruto benar-benar tampan. Bukan karena dia kekasihku atau karena cinta itu buta, tetapi semua orang memang mengakui ketampanan wajah Haruto-ku ini.

Rintikan hujan masih mengguyur kota hingga saat ini. Meskipun tidak lebat seperti tadi, namun membuat Haruto memeluk tubuh sendiri. Angin berhembus pelan tetapi terasa begitu menusuk hingga ke dalam tulang.

Kulihat, bibir Haruto sedikit bergetar, menandakan bahwa lelaki itu kedinginan. Terlihat jelas dari gerak-geriknya yang seperti orang menahan hawa dingin yang menusuk. Dengan setelan kemeja kotak-kotak abstrak dibaluti warna hitam putih dan celana jeans hitam, membuat penampilan Haruto malam ini cukup keren.

Kemudian, tangan itu menepuk pelan baju kemeja yang sedikit basah, mengusak rambut hitam pekat miliknya secara asal.

Kedua netraku menatap Haruto sinis, menatapnya tidak suka sambil menggerutu. Pemuda bermata indah itu hanya tersenyum tipis padaku, menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Sejurus kemudian, dia membalas tatapan mataku, menatapku dengan tatapan lembut.

Perlahan, pemuda berwajah tampan itu memelas sambil meraih tanganku yang segera kutepis secara kasar.

"Mau ngapain?" bentakku, dia terkekeh.

"Kamu kenapa sih, sayang? Lagi tanggal merah ya? Marah-marah mulu dari tadi." sedikit mengusak puncak kepalaku, Haruto tersenyum manis.

"Haru, kamu itu sadar nggak sih? Mikir nggak pas pulang dari rumah aku setelah aku usir?"

"Apaan sih, Ra."

"Aku tanya kamu mikir nggak?!" Kesalku, kembali bersuara sambil menatap Haruto tajam.

Kudengar, Haruto mengembuskan napas kasar. Memutar bola matanya sambil menyandarkan punggung tegapnya di kursi sofa yang saat ini aku dan dia duduki. Kulirik wajahnya dari samping, tidak terlihat raut bersalah sedikitpun di sana.

Sejenak, Haruto terdiam. Kembali  mengusak rambut indah nan jatuh itu secara asal, lalu menyisirnya ke belakang. Manik bening Haruto menatap langit-langit rumahku, mengedarkan pandangan disetiap sudut ruang tamu. Hanya ada aku dan dia, juga suara rintikan hujan diluar sana.

Aku tidak tahu kapan hujan akan berhenti. Tidak tahu kapan bumi akan menahan hujan agar berlalu pergi, pulang ke langit yang kesepian di atas sana. Bukan hanya bumi, Langit juga lelah dan rindu menunggu hujan untuk kembali.

Lagi. Aku kembali menatap matanya yang juga menatapku. Haruto memutar tubuh menghadap diriku. Mengulas senyum manis yang entah sudah terukir berapa banyak untuk malam ini.

"Enggak." singkat dan jelas. Jawaban dari Haruto mampu membuatku gemas sekaligus kesal sampai ubun-ubun. Begitu santainya dia berucap dengan senyum manis khas dirinya.

Aku memutar bola mata jengah sambil melempar bantal kursi hingga mengenai wajah tampan itu. Sungguh, aku kesal.

"Ya udah, mending sekarang kamu bangun," kataku, mendorong bahunya untuk beranjak dari duduk.

Haruto menatapku dengan sebelah alis terangkat, berdiri tanpa tahu apa maksud perkataanku. Bodohnya, dia mau mendengarkan perkataan tidak jelas ini.

"Terus?" Berdiri sambil menatapku dengan wajah bingung.

"Jalan," kataku singkat.

"Kemana?"

"Tau pintu keluar dimana?"

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang