14. Sing For You

121 28 124
                                    

Layaknya bumi yang rela menunggu hujan turun ke bumi, atau bahkan hujan yang rela jatuh berkali-kali walaupun tahu rasanya sakit. Kuharap kau juga tahu bagaimana perasaanku padamu walau hanya sesaat.
.
.
.

"Baru bangun?"

Suara bernada rendah itu terdengar pelan, menyambut kesadaran Haruto yang baru saja terbangun. Tidurnya yang lelap terusik hanya karena suara derit tirai yang dibuka secara kasar. Sinar mentari pagi menjelang siang menyeruak masuk hingga mengenai kedua retina.

Dalam keadaan setengah sadar, Haruto mengerjapkan kedua bola matanya untuk menyesuaikan cahaya yang masuk dalam retina. Wajah bengkak khas bangun tidur itu masih terlihat tampan, mengucek mata guna melihat sosok yang tidak asing tersebut.

Namun, sorot mata elang Haruto berubah menjadi dingin, memasang wajah tidak suka akan kedatangan Yedam disini. Terduduk secara tiba-tiba lantas menyibak selimut tebal yang sempat membungkus tubuhnya dengan kasar. Netra tajam Haruto menatap Yedam yang baru saja menyibak tirai jendela kamar miliknya. Entah, Haruto tidak tahu sejak kapan pemuda bermarga Bang tersebut ada di dalam kamarnya.

Haruto tidak suka.

"Ngapain kamu disini?" Entah ini sebuah pertanyaan atau apa, nada bicara Haruto terdengar marah. Bahkan suara itu terdengar naik beberapa oktaf. Melihat Yedam yang berbalik dengan senyum tanpa dosa membuat Haruto semakin kalut. Dia benci melihat senyum itu.

Seperti tidak ada yang salah, Yedam hanya bisa tersenyum menatap wajah kesal Haruto — adik tirinya. Yedam tidak bermaksud untuk menganggu tidur Haruto yang tidak ingin terusik, walaupun pada kenyataannya Haruto merasa demikian.

Lagipula, ini sudah siang. Waktu yang terus berputar sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Namun, Yedam merasa cemas karena Haruto tidak kunjung keluar kamar. Padahal hari ini bukan hari libur, seharusnya Haruto sudah berangkat ke sekolah atau setidaknya pergi menjemput Ara, kekasihnya.

Ah, lupa. Yedam baru ingat bahwa kemarin malam Haruto pulang jam 2 dini hari. Haruto pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pakaiannya basah, mungkin karena menerobos hujan, juga wajah yang tertekuk. Sebelum pergi, Yedam sempat mendengar jika Haruto pamit kepada mama untuk mencari Ara. Katanya, Ara belum pulang sekolah sampai jam 8 malam.

Jika boleh berkata jujur, Yedam juga cemas mendengar berita itu. Tetapi, Yedam tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin malam, dia juga ingin ikut mencari keberadaan Ara, tapi Yedam ingat bahwa dia bukan siapa-siapa. Membiarkan Haruto pergi sudah cukup membuat hati Yedam sedikit merasa tenang. Kehadiran Haruto setidaknya bisa menjadi obat tersendiri untuk Ara.

Haruto kekasih Ara, sudah pasti Haruto lah yang lebih mencemaskan Ara. Tidak wajar rasanya jika Yedam mencemaskan kekasih orang, karena seharusnya Haruto lah yang merasakan demikian. Haruto yang lebih tahu dan paham siapa itu Ara. Mengingat bahwa mereka sudah menjalin kasih selama 2 tahun cukup menorehkan rasa nyeri di hati.

Dalam keadaan seperti ini Yedam harusnya sadar diri. Tidak sepantasnya dia mencemaskan Ara secara berlebihan.

"Kamu nggak sekolah?" tanya Yedam yang hanya dibalas tatapan sinis dari Haruto. Sudah biasa Yedam melihat ekspresi itu.

"Bukan urusan kamu." Sambil bangkit dari duduknya, Haruto menyambar ponsel yang tergeletak tidak berdaya di atas meja nakas. Sengaja menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Sekadar mengecek notifikasi yang terus berdenting sejak semalam.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now