23. I'm Gonna Love You

92 20 74
                                    

Udara pagi memang sangat baik untuk kesehatan. Terasa begitu segar dan menenangkan juga sangat nyaman. Berada dalam suasana pagi yang dingin nan indah ini mampu membuatku mengukir senyum sedari tadi. Layaknya sedang berada di dalam ruangan penuh bunga, aku terus memuji semerbak harum nya bau embun. Suara tetesan air embun dari dedaunan yang sempat ia hinggapi, kemudian berlabuh jatuh ke tanah.

Indah. Satu kata itu yang saat ini mampu kuucapkan.

Jauh sebelum mentari terbit, Tuhan sudah lebih dulu terjaga dari istirahatnya. Bukan tentang keindahan pagi yang indah, tetapi ini tentang sebuah cerita yang bersejarah. Derap langkah kaki yang kian berpacu di aspal, memberi jejak dijalanan yang masih kering dan tidak berdebu. Sama-sama melangkah beriringan tanpa harus mengucapkan kata selamat pagi dengan alasan.

Haruto masih bersamaku hingga waktu yang terus berlalu. Seperti yang ia katakan, pemuda bermarga Watanabe itu mengajakku lari pagi —ah tidak, lebih tepatnya jalan-jalan santai mengelilingi kompleks rumahku. Hanya sekedar melangkah kecil sambil sesekali mengobrol santai. Sepertinya kami sama-sama masih merasa canggung.

"Kak Jaewon hari ini jadwal pagi?" tanya Haruto membuka suara.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Lagipula, kak Jaewon benar-benar ada jadwal kuliah pagi. Tetapi, saudara laki-laki ku itu masih saja tertidur pulas dikamar sampai aku dan Haruto beranjak pergi. Aku yakin jika Bunda akan memukul bokong kak Jaewon sampai anak itu bangun. Pernah juga Bunda memercikkan air dingin kepadanya. Maklum, kak Jaewon memang tidur seperti orang mati.

"Tumben ngajakin olahraga pagi? Biasanya nggak suka sama alam luar dan sibuk main game," kataku, melirik Haruto yang berjalan disampingku.

Cowok pemilik hidung mancung tersebut tampak berpikir sejenak, memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana training yang ia pakai. Sambil tersenyum tipis Haruto menghembuskan napas pelan, kemudian melirik ke arahku sekilas.

"Emangnya nggak boleh?" dia malah balik bertanya.

"Boleh, boleh banget. Dengan gitu kamu jadi sehat dan nggak kecanduan main game."

"Cuma buat hari ini aja, sayang. Besok aku udah malas lagi." Haruto terkekeh. Aku mendelik sebal sambil mencebikkan bibir. Sudah ku duga, Haruto tidak akan berubah menjadi orang yang suka dengan alam sekitarnya.

"Maka dari itu, aku ngerasa aneh pas kamu tiba-tiba ngajak jogging. Kesannya itu kayak nggak logis aja."

"Oh ya?" langkah kaki Haruto terhenti dan begitu juga denganku. Sambil menatap mataku intens, Haruto memberikan senyum miring khas dirinya. Kemudian, tangan itu terulur untuk menyentuh puncak kepalaku. Disentuhnya kepalaku, lantas mengusaknya hingga rambutku berantakan. Hal sekecil itu mampu membuat Haruto merasa sangat bahagia.

Pagi ini kulihat senyum Haruto mengembang sebanyak yang pernah kulihat, jauh sebelum nama Kang Yerim hadir dalam hubungan antara aku dan dia. Senyumnya begitu lebar hingga memperlihatkan deretan gigi rapih tersebut. Susunan gigi yang sangat kusukai dengan sudut bibir yang tertarik ke atas. Senyumnya manis hingga membuatku candu. Ah iya, jangan lupakan suara tawanya yang membuatku semakin gemas.

Entah apa yang membuatku berani untuk melakukan hal itu. Hal sepele yang mampu membuat Haruto berhenti tertawa dan diam membeku. Aku mencium bibirnya sekilas, sedikit berjinjit karena memang jarak tinggi kita yang terlampau jauh. Ciuman pertama yang Haruto dapatkan dariku setelah 2 tahun berpacaran.

Ah tidak —kita sudah sering berciuman, namun pagi ini berbeda. Biasanya Haruto yang pertama kali melakukannya, tetapi untuk hari ini aku yang memulai. Haruto cukup terkejut dengan apa yang barusan terjadi hingga membuatnya diam tanpa kata. Kedua matanya menatapku kaget. Lucu sekali.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now