30. Me After You

86 16 94
                                    

Dalam hening yang masih bergeming, kutatap lekat kedua netra legam milik pemuda itu dalam diam. Membiarkan keadaan sekitar menjadi bisu, sama hal nya dengan kita yang sama-sama terpaku. Seperkian detik yang terus berdetak, juga menit yang berlalu pergi bergerak, sedikit melambat untuk menuntun jeda waktu yang singkat.

Pasokan oksigen dalam diri ini kian menipis, membuat dadaku terasa sesak tanpa tahu mengapa. Udara yang berhembus pelan hingga mengusiknya —menelisik setiap helaian halus berwarna hitam pekat milik pemuda bermarga Kim tersebut.

Berada dalam jarak yang masih terhalang dan anehnya aku masih bisa merasakan rasa cemas dalam dirinya. Tatapan mata yang tajam namun teduh, juga raut wajah lucu yang nyaman. Dalam jarak radius 2 meter, kutatap lekat wajah Dobby tanpa berniat untuk mengalihkan pandangan. Wajahnya masih sama seperti hari kemarin, tetap teduh jauh sebelum kami menjadi asing dalam waktu yang kian melambat.

"Kami putus."

Dan entah mengapa kalimat itu terucap dari bibirku. Hanya 2 buah kata, tetapi mampu membuat Dobby terkejut seketika. Kedua manik miliknya membulat sempurna sembari menatap aku yang masih berdiri di tempat yang sama.

Sesak sekaligus sakit harus mengatakan kalimat itu. Untuk saat ini aku cukup trauma guna mengingat kejadian semalam. Otakku beku, membiarkan lidah ini kelu dan membiarkan tubuh ini menjadi diam membisu. Aku hanya berusaha tegar untuk tidak terlihat rapuh karenanya, kemudian menahan bulir bening yang sudah berlomba-lomba untuk keluar dari pelupuk mata.

Tanpa syarat, kakiku melangkah pelan. Sedikit tertatih, mendekat ke arah Dobby yang enggan untuk menanggapi ucapan dariku. Bagai angin berlalu, Dobby justru membuatku semakin tersedu kala dia menatapku sendu. Bukan sebuah tatapan teduh yang ia berikan seperti kemarin, Dobby menatapku lurus tanpa ingin berucap lebih.

Dadaku terasa semakin sesak. Semua rasa ini kian menjadi satu dalam waktu bersamaan. Tentang sedih dan kecewa, juga tentang rasa sakit yang hingga kini hinggap dalam diri. Hingga tanpa sadar, tubuhku berhambur dalam pelukan dirinya. Kupeluk erat Dobby yang diam membisu, membiarkan aku menangis sejadinya.

Aku menangis lagi. Kutumpahkan semuanya saat ini, membiarkan Dobby mendengarkan suara tangisan ini. Seolah ingin Dobby juga merasakan sesak sekaligus sakit yang saat ini kurasa, aku menangis sampai sesegukan tanpa memikirkan keadaan sekitar. Yang hanya kulakukan adalah menangis tanpa kata, menyalurkan semua rasa sesak yang begitu menyebalkan.

Air mataku tumpah tanpa mengenal kata berhenti. Aku justru terus menangis sesenggukan, menyalurkan semua rasa sakit yang kurasa saat ini kepada Dobby. Namun, pemuda berpipi tembam itu masih enggan untuk berkata. Dirinya hanya membiarkan aku menangis dalam pelukan hangat ini.

"Nggak apa. Menangis aja sejadinya. Menangis aja sekuat dan selama yang kamu mau. Aku disini, Ra. Aku siap untuk jadi pendengar suara tangismu sampai kamu benar-benar ngerasa lebih baik."

Aku benci mendengar kalimat itu. sumpah, mendengar kalimat yang Dobby katakan itu justru semakin membuat aku merasa rapuh. Hatiku seakan tergores, tercabik-cabik hingga hancur berkeping-keping. Kian menjadi rasa sakit, aku menangis lagi tanpa tahu kapan akan berhenti. Karena yang kurasakan saat ini hanyalah sakit dan sesak sekali.

Dobby membuatku semakin terpuruk dengan sikap tulusnya, kemudian membawa aku jatuh tersungkur dalam peluk hangat dirinya. Sebuah pelukan teduh yang membuatku nyaman dan damai. Menepuk punggungku pelan dan penuh kasih, Dobby benar-benar membuatku lupa akan keadaan asing yang sempat tercipta.

Karena pada dasarnya melupakan bukanlah yang mudah untuk dilakukan, juga bukan jalan yang benar untuk berakhir menjadi terasingkan. Membuatku sadar tentang arti sebuah rasa dari daksa, kemudian berganti menjadi ego yang entah kapan akan terlupa.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now