29. Color Ring

91 18 163
                                    

"Kenapa nggak bilang?"

Sampai detik ini juga aku hanya bisa diam membisu dalam dinginnya suasana antara aku dan dia. Pandanganku terpaku menatap sebuah objek tidak bernyawa di depan sana, menatap lekat alam semesta dari balik kaca mobil yang saat ini aku dan Haruto tumpangi. Sebuah mobil sedan berwarna biru yang membawaku pergi dari sekolah secara tiba-tiba tanpa kata.

Masih menjadi tanda tanya besar bagiku mengetahui alasan mengapa Haruto datang menjemputku tanpa mengabari. Biasanya, dia akan meminta izin terlebih dahulu padaku. Apalagi jika ingin datang mengunjungi sekolahku. Aku tidak habis pikir dengan dia yang berani mengizinkan aku kepada guru piket agar pulang lebih awal.

Jawabannya masih sama. Haruto terus mengatakan jika dia datang menjemputku atas dasar rasa cemas. Katanya, dia sempat ke rumahku dan mendapat kabar dari bunda bahwa semalam aku demam.

Baiklah, katakan jika apa yang dikatakan bunda itu benar. Semalam aku memang demam tetapi tidak terlalu tinggi. Mungkin karena terlalu lelah dan kondisi tubuhku kurang stabil. Namun, apakah harus datang menjemputku juga?

Ah, iya. Lupa jika hubungan aku dan Haruto sedang tidak baik-baik saja. Dinding penghalang itu kembali lagi setelah sosok yang selama ini menjadi pemicu pertengkaran kami hadir. Kembali merenggang, aku bahkan enggan untuk membalas pesan singkat dari Haruto, juga menolak panggilan telepon darinya. Bukannya ingin marah, tetapi aku sedang merasa kecewa perihal janji dusta. Juga bukan untuk mendramatisir keadaan, aku hanya ingin dia tidak melakukan hal demikian.

Hingga sampai dimana aku dan dia kembali dipertemukan semesta, aku juga enggan untuk bertegur sapa, kemudian berujung saling berkata. Meluapkan semua rasa jengkel bercampur ego hingga kembali memicu perdebatan. Aku muak dengan semua drama yang dibuat oleh semesta.

"Jung Ara..." panggil Haruto sekali lagi. Aku hanya melirik dia sekilas, mendapati wajah tampan itu yang tengah serius menyetir.

Jujur, untuk kedua kalinya aku dan Haruto berada dalam mobil sedan berwarna biru ini. Setelah kita merayakan hari jadi yang pertama, Haruto tidak pernah membawaku pergi bersama mobil ini. Karena kita hanya akan pergi bersama motor ninja warna merah miliknya. Mungkin karena dirinya belum terlalu fasih menyetir mobil atau—

"Ra, aku benci di diamkan dan kamu tau itu." Haruto kembali berucap, sedikit menaikkan nada suara.

Untuk kesekian kalinya, aku menghembuskan napas panjang. Kuhembuskan dalam sekali hentakan, menyandarkan kepala tepat disisi kaca mobil.

Aku tahu Haruto juga kesal dengan sikapku, tetapi apakah dia pernah mengerti perasaanku? Apakah pernah dia bertanya tentang hatiku? Pernahkah dia bertanya apakah aku marah jika dia dekat dengan Yerim?

Demi Tuhan, mengingat nama gadis itu saja sudah membuatku hampir frustasi.

"Kenapa nggak bilang kalo semalam kamu demam?"

"Nggak sempat, Haru."

"Segitu sibuk sampai nggak bisa balas pesan dariku? Seenggaknya angkat telepon dariku kalau kamu malas ngetik."

"Haruto—"

"Kita ke rumah sakit."

"Aku nggak mau. Lagipula aku nggak demam," sangkalku.

"Tapi suhu kamu panas."

"Ara—"

"Watanabe! Tolong jangan buat aku semakin benci keadaan." kutatap manik tajam Haruto. Sedikit menatapnya nanar kala kedua bola mata itu membulat.

Suasana diantara kami benar-benar tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan sedari tadi hanya ada perdebatan yang hadir. Tidak ada kata romantis lagi, Haruto juga enggan untuk berucap manis padaku yang hingga kini hanya diam membisu. Yang kulakukan hanya diam bergeming sambil mengamati lingkungan luar.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now