24. The Reason Why

89 21 97
                                    

Sejak 1 jam yang lalu, entah mengapa duniaku mendadak sendu. Waktu yang semula bergulir tenang, kini mendadak risau tanpa alasan. Berpacu dalam detik ke menit, juga detak jantung yang kian menjerit. Sampai dimana napas terasa begitu berat untuk dihirup, juga dada yang terasa begitu sesak ulah pasukan oksigen yang kian menyempit.

Waktuku terbuang dengan begitu saja tanpa tahu alasan mengapa keadaan masih terasa begitu sama. Entah karena keadaan sekitar yang tidak peduli atau bahkan aku yang terlalu memikirkan cara semesta memberikan sebuah kejutan tak terduga.

Masih tentang perihal bagaimana semesta menyusun sebuah cerita dalam sehari, kemudian merangkainya kembali menjadi sejarah dikemudian hari. Hanya untuk diingat menjadi kenangan, tanpa berniat untuk disimpan dalam angan.

Hari ini semesta kembali menorehkan cerita dalam sebuah luka, lalu membawaku kedalam skenario yang tak pernah terlupa. Semesta lagi-lagi mengajakku bercanda tetapi enggan untuk tertawa bersama. Semesta memang begitu, suka sekali menyusun cerita tanpa memberitahu padaku terlebih dahulu apa yang akan terjadi. Karena semesta punya cerita, sedangkan aku adalah pemerannya.

Bukan untuk menjadi orang yang egois terhadap kehendak Tuhan, aku hanya merasa kesal kepada pemilik alam semesta.

Bergulir perlahan, kedua manik kecokelatan milikku menelisik sosok yang sedang terbaring diatas brankar ruang kesehatan. Aku bahkan rela bolos pelajaran terakhir hanya karena ingin menemani dia disini.

"Pak Yixing tadi cari kamu. Katanya nggak biasanya kamu absen pelajaran dia." Cha Wooyoung, gadis berambut panjang itu terus menghujani aku dengan berbagai macam kalimat. Entah itu sebuah pertanyaan atau hanya mengajak mengobrol.

Aku yang sedang tidak ingin berbicara mendadak menjadi pendengar cerita darinya tentang pak Yixing yang kebingungan. Guru bahasa Mandarin itu memang sangat dekat denganku dan sudah menganggapku murid kesayangan. Karena percayalah, aku yang paling rajin dikelas setelah Yoshinori.

Ah iya. Ngomong-ngomong apa kabar dengan ajakan untuk menjenguk Yoshi?

"Katanya mau jenguk Yoshi. Kok kamu nggak ikut?" tanyaku yang hanya dibalas decakan kecil dari Wooyoung.

Gadis cantik itu mengibaskan rambut panjangnya kebelakang, sedikit membenarkan poni tipisnya yang berantakan.

"Kamu kayak nggak kenal Jae aja. Dia mendadak bilang batal buat jenguk Yoshi karena ada urusan mendadak. Ck, mendadak apanya? Mungkin dia diputusin sama pacarnya."

Astaga. Aku juga lupa bahwa Jae -begitu kami memanggil Jaehyuk - adalah cowok playboy. Bukan cowok yang suka menggoda gadis-gadis, tetapi Jae cukup banyak penggemar dari kalangan gadis. Dari yang jabatannya sebagai senior sampai menjadi idaman para ibu-ibu kompleks.

Sumpah, aku tidak berbohong. Jaehyuk pernah dilamar oleh ibu-ibu kompleks Wooyoung untuk menjadi calon menantu. Saat itu kita yang sedang main ke rumah keluarga Cha dan berkeliling kompleks untuk mengamati alam sekitar. Hanya pekerjaan yang tidak terlalu asyik, tidak tetapi cukup membuat otak terasa lebih fresh.

Kami memang suka begitu. Aku, Jaehyuk, Wooyoung, Yoshi, Jeongwoo dan Junghwan cukup dekat, bahkan bisa dibilang bersahabat. Hanya saja hubungan Wooyoung dan Jeongwoo yang kurang baik karena gadis tersebut benci dengan sikap usil pemuda berkulit Tan itu.

"Mau sampai kapan disini?" pertanyaan yang dilontarkan Wooyoung mampu membuatku terdiam sesaat. Rangkain kalimat yang cukup membuatku merasa tertohok hingga napasku terasa tercekat.

Jika dipikir-pikir, ucapan itu ada benarnya juga. Sampai kapan aku akan berada disini? Bahkan aku saja tidak tahu alasan mengapa aku rela duduk termangu tanpa alasan. Menunggu sampai kak Yedam bangun dari pingsan mungkin terdengar aneh sekaligus lucu. Aku tidak begitu dekat dengan pemuda bermarga Bang ini, lantas mengapa aku tetap bersikukuh untuk tidak pergi?

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now