06. Pinokio

229 45 196
                                    

Hujan masih di sini bersama semesta yang basah dan dingin. Masih enggan untuk berlalu pergi, hujan justru tinggal lebih lama di bumi. Tidak deras seperti semula, hanya berupa rintikan kecil tetapi mampu membuatku berlari guna berteduh. Dengan langkah kaki yang gemetar, kupeluk tubuhku yang terasa beku, sedikit menggosok kedua telapak tangan di lengan.

Dingin.

Kami — aku dan kak Yedam berada di sini, berdiri dalam keheningan yang menemani. Kedua netra kami sama-sama terpaku menatap rintikan hujan. Berteduh di depan toko roti yang sudah tutup setidaknya bisa meredam rasa ngilu tulang yang kurasa saat ini.

Tidak seperti biasanya aku merasakan dingin yang menusuk. Mungkin, karena aku yang tidak pernah terkena hujan dan berakibat suhu tubuhku menjadi berubah secara tiba-tiba. Entah karena tubuhku yang terlalu rapuh atau memang hanya sebuah kebetulan saja.

"Maaf."

Kalimat yang terdengar pelan, sedikit tersamarkan oleh suara hujan yang berlabuh di aspal cukup membuatku terdiam untuk beberapa saat. Sorot mataku menatap kak Yedam lurus. Wajah tampan dengan sorot mata runcing itu juga membalas tatapan mataku. Seragam yang kita kenakan saat ini sama-sama basah, bahkan tas ransel ini juga ikut basah. Dapat kupastikan bahwa buku yang ada di dalam juga basah.

"Maaf? Untuk apa?" kutatap kedua manik legam milik kak Yedam. Menuntut jawaban lebih darinya.

Pemuda bermarga Bang itu tersenyum tipis, "karena udah buat kamu basah kuyup." Kak Yedam menatapku lurus.

"Ck. Aku kira kenapa."

"Kamu nggak mau maafin aku?"

Lucu sekali mendengar ucapan kak Yedam barusan. Ekspresi wajahnya yang terlihat polos tanpa dosa membuatku mengukir senyuman lebar. Apakah aku terlihat marah?

"Apaan sih?"

"Aku minta maaf, tapi kamu nggak maafin aku."

"Kak---"

"Aku juga udah buat kamu kedinginan. Maaf, karena aku udah buat kamu kayak gini."

Aku terbahak, memukul lengan kak Yedam yang hanya meringis. Kedua bola matanya membulat sempurna, menatapku terkejut karena tiba-tiba mendorong tubuhnya hingga sedikit terhuyung.

Kak Yedam lucu, lugu dan polos. Entah dia pura-pura bodoh atau apa, tetapi permintaan maaf darinya nyaris saja membuatku menampar wajah gemas itu.

"Siapa yang marah? Aku nggak marah," kataku tergelak.

Retina kak Yedam membulat menatapku yang hingga kini masih sibuk meredam tawa. Baru kali ini ada orang yang meminta maaf hanya karena hujan-hujanan. Kukira, kata maaf hanya akan diucapkan ketika kita melakukan kesalahan. Namun, kak Yedam mengucapkan kata maaf secara percuma. Mengatakan tanpa tahu apa alasannya.

"Kamu tau pesan moral apa yang aku dapatkan ketika menonton Pinokio? Pesan moral yang selalu kuingat sampai sekarang."

Kemudian, anak lelaki itu menatapku yang masih setia berdiri di sampingnya. Pandangan kami saling bertemu. Untuk beberapa detik kita saling tatap tanpa bergeming. Aku dapat melihat cantiknya kedua bola mata indah milik kak Yedam. Sorot matanya tajam, namun membuatku terpaku tanpa alasan.

Kudengar, dia berdehem pelan. Kembali mengukir senyuman disana, membuatku merasa candu akan senyuman manis yang entah mengapa terasa sangat tulus.

Iya, katakan jika aku terpesona dengan senyum itu.

"Jika melakukan hal baik, maka kebaikan akan datang menghampiri dirimu. Kata-kata itu yang selalu aku ingat sampai detik ini juga."

Aku hanya terpaku, antara terkejut mendengar penuturan kalimat itu atau tepatnya aku tidak tahu harus menjawab apa kata-kata kak Yedam tadi.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now