22. Love Scenario

104 21 100
                                    

Andai malam ini semesta bersikap baik padaku, mungkin aku akan menyambut kedatangannya dengan senyuman manis. Seperti tempo hari, kutarik lengkungan bibir ini hingga membentuk sebuah senyuman. Namun, malam ini semesta tidak menginginkan aku untuk melakukan hal itu. Semesta kembali memporak-porandakan hatiku sehingga membuka kembali luka yang sempat tertutup. Luka yang memang belum pulih seutuhnya, kemudian kembali terbuka untuk kesekian kalinya.

Bukan untuk membuat keadaan semakin sulit atau memperkeruh suasana antara aku dan dia. Tetapi, sosok yang selama ini menjadi dinding penghalang tersebut kian menjadi seiring waktu berjalan. Mungkin aku terlalu bodoh karena sempat membiarkan sosok asing masuk ke dalam semesta yang kumiliki, tetapi kali ini aku sadar. Tidak seharusnya aku mempercayai dia yang ku punya.

Kedua manik indah milik Haruto menatapku lurus tanpa berkedip, sedikit terbelalak mendengar ucapanku barusan. Menatap kedua bola mataku dengan tatapan tajam. Kurasakan hembusan nafas kasar Haruto, rahangnya mengeras.

"Kamu ngomong apa sih?!" nada bicara Haruto naik beberapa oktaf, berteriak keras hingga urat-urat lehernya ikut mencuat keluar. Dapat kurasakan emosi yang berusaha ia tahan. Karena tidak mungkin dia membentak dengan suara beratnya itu. Haruto juga masih sadar jika dia sedang berada di rumahku.

Matanya melotot, nafasnya memburu yang membuat dada bidang tersebut ikut naik turun. Dia marah dan aku tahu itu.

"Aku udah pernah bilang ke kamu untuk nggak ngomong hal yang aneh."

"Haruto—"

"Karena Yedam? Kamu ngomong gitu karena Yedam 'kan?"

"Kamu ngapain bawa-bawa nama kak Yedam?"

Haruto mendecih pelan, membuang pandangan sambil menghembuskan nafas kasar. Kemudian, kedua manik itu kembali menatapku tajam. Menatap mataku lurus dengan ego yang sama.

"Aku nggak mau kita saling tenangin diri. Aku nggak mau kita saling asing.  Entah itu untuk beberapa hari, Minggu, jam atau bahkan detik. Kita bakal sama-sama terus."

"Haruto—"

"Jung Ara!" pekik Haruto dengan kasar.

Saat ini kutatap lekat kedua sorot mata elang itu. Kutatap dalam keadaan asing yang membuatku ingin pergi menghilang dari dunia penuh kebohongan. Aku ingin pergi menghilang, bersembunyi dimana saja. Karena saat ini aku butuh ketenangan. Aku lelah juga rapuh. Hatiku terlalu lelah untuk terus bertahan memendam luka. Jiwaku rapuh untuk terus terlihat baik-baik saja.

Senyumku, tawaku, ucapanku atau bahkan semua yang kulakukan saat ini hanya dusta. Aku hanya ingin berhenti berpura-pura bahagia dibalik senyum yang terus terukir.

"Tolong jangan ngomong itu lagi."

Sialan. Bulir bening yang sudah lama ku simpan akhirnya tumpah juga. Air mataku jatuh deras kala tangan Haruto terulur untuk membawaku ke dalam pelukannya. Membiarkan aku menangis dalam dekapannya, lalu menumpahkan semua rasa sakit ku lewat air mata yang mengalir.

Aku menangis lagi. Namun, kali ini tangisku tumpah dipeluk yang tepat. Tempat dimana aku seharusnya bersandar guna menumpahkan segala keluh-kesahku. Bahu asing yang selama ini sempat menjadi tempat aku menangis, akhirnya tergantikan dengan bahu Haruto.

Dobby. Bahu pemuda bermarga Kim tersebut yang selama ini menjadi tempat aku menangis. Tetapi kali ini semesta membawaku berlabuh diatas bahu milik Haruto. Tempat yang memang seharusnya menjadi milikku.

Terserah. Untuk saat ini aku menangis sekuat tenaga, kuhiraukan keadaan sekitar. Kucoba untuk tidak peduli dengan keberadaan bunda dan kak Jaewon. Aku menangis sejadinya, meremas baju kemeja sekolah milik Haruto. Sesekali kupukul dada bidang itu, berharap dia tahu dan merasakan sakit yang kurasakan.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now