15. Between You, Him and I

112 28 108
                                    

Saat ini aku diam membisu. Bergeming dalam beku sambil menikmati pasukan oksigen yang masih kuhirup. Membiarkan kepulan asap coffee latte menari di atas udara, kemudian hilang tersamarkan oleh angin yang berhembus.

Pandanganku masih sama seperti tadi. Tidak bosan kedua netra cokelat ini menatap alam luar dalam hening yang menyapa, lalu bising yang tiba-tiba datang menghampiri. Aku tahu jika dirinya sedang bersamaku. Duduk berhadapan tetapi enggan untuk membuka percakapan. Sama-sama termenung dalam waktu yang melaju cepat tanpa berniat untuk berucap.

Namun, kali ini bukan karena alasan seperti kemarin. Diamnya aku bukan karena dunia yang lain, melainkan karena hadirnya sosok pelangi yang datang ketika hujan reda. Menyapa bumi setelah hujan pergi menjamah alam semesta.

Kubiarkan aluanan musik klasik di kafe mengalun pelan, juga perkataan Haruto yang entah sejak kapan berkata. Pikiranku terbang entah kemana setelah melihat kak Yedam yang tiba-tiba melintas di luar sana. Entah kemana dia akan pergi, yang hanya kulihat bahwa anak laki-laki penyuka Pinokio itu membopong tas gitar di punggung.

Berpenampilan santai dengan balutan kaos hitam polos dan celana jeans hitam, juga jangan lupakan jaket denim warna abu-abu yang membuat penampilannya terlihat seperti seorang anak band. Kak Yedam menyusuri jalanan kota Seoul yang terlihat padat karena weekend ditemani hangatnya mentari pagi menjelang siang. Langkahnya santai berlabuh di atas aspal yang berdebu.

Ya. Hari ini hujan belum turun. Entah karena langit yang masih bisa menahan beratnya uap air, atau karena bumi yang belum merindukan kedatangan hujan. Mungkin bumi masih bisa bertahan dengan sikap hujan yang terkadang suka menjengkelkan. Hujan sering datang secara tiba-tiba dan berhenti dalam waktu cukup lama. Sepertinya bumi bosan menyambut kedatangan hujan untuk saat ini.

Di sana, kulihat kak Yedam sedang tersenyum — ah tidak, lebih tepatnya tertawa sangat lebar hingga membuat deretan gigi rapih nan putih miliknya terlihat. Kedua bola mata bening itu menatap lembut anak laki-laki berumur 7 tahun. Anak laki-laki yang lucu dengan balutan seragam sekolah taman kanak-kanak.

Sembari bertos bersama, kak Yedam mengelus puncak kepala anak laki-laki tersebut. Mengelusnya dengan lembut tanpa berniat untuk berhenti mengukir senyuman.

Tidak tahu siapa anak laki-laki bermata sipit dengan wajah menggemaskan, yang hanya kulihat dari sini bahwa kak Yedam memberikan sebungkus roti padanya.

Kedua mataku melotot. Hampir saja aku berteriak ketika menyadari bahwa Haruto baru saja mencium bibirku sekilas. Fokus ku teralihkan membalas netra tajam Haruto sambil melotot. Dia tersenyum lalu terkekeh kecil. Nyaris saja aku melempar gelas coffee jika saja dia tidak meraih pergelangan tanganku dengan cepat.

"Kamu apa-apaan sih?" kataku sarkas.

"Harusnya aku yang nanya, kamu kenapa ngelamun? Dari tadi aku ngomong tapi nggak dianggap. Aku juga udah berkali-kali panggil kamu, tapi nggak di jawab."

"Kan bisa pukul punggung tangan, kenapa harus cium juga?"

"Kenapa? Kamu nggak suka?" Kedua alis tebal Haruto menukik, terangkat sebelah sambil menatapku dengan ekspresi wajah bingung.

Menyebalkan sekaligus lucu.

"Aku malu," jawabku jujur.

Sedetik kemudian dia terkekeh, mengusak puncak kepalaku dengan gemas. Ditariknya pergelangan tanganku yang masih dia genggam, kemudian mencium sekilas punggung tangan itu.

"Aku kangen, harusnya kamu peka." Raut wajahnya terlihat serius. Menatap kedua mataku lurus dan lembut.

"Harusnya kamu yang peka, bukan aku. Haru, aku yang lebih kangen kamu. Aku yang lebih nggak suka kalo kamu pergi tanpa alasan."

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Место, где живут истории. Откройте их для себя