18. The Other World

107 26 103
                                    

Langkah kaki ini berpacu di atas aspal berdebu, sedikit terburu-buru guna mempercepat langkah agar tiba di tempat tujuan tepat waktu. Menyusuri jalanan kota Seoul yang semakin ramai, kunyalakan musik melalui earphone. Sengaja kupasang untuk meredam jenuh yang kian menjadi. Demi membunuh waktu yang berlalu, kubiarkan alunan musik mengalun pelan, menyamarkan suara bising di sekeliling.

Kemudian, dibawah awan senja, menuntun langkahku menuju sebuah bangunan megah di depan sana. Membawaku berdiri terpaku di sini tanpa berniat untuk melangkah lebih dekat. Hanya memandang dari kejauhan bangunan sekolah yang sudah tampak sepi.

Ngomong-ngomong, aku ada di depan sekolah Haruto. Hari ini kuputuskan untuk mendatanginya di sekolah secara diam-diam. Sepulang sekolah tadi, aku sengaja menaiki bus bukan untuk pulang ke rumah malainkan untuk datang mengunjungi Haruto di sekolah.

Jujur, aku penasaran dengan dia yang tiba-tiba hilang tanpa kabar sejak kejadian di Hongdae kemarin. Dia tidak menghubungi bahkan sampai detik ini juga. Jangan tanyakan lagi ada berapa banyak pesan dan telepon dariku yang sama sekali tidak pernah dia respon. Hal yang paling membuatku semakin gila adalah nomornya yang secara tiba-tiba tidak dapat dihubungi.

Ponselnya sengaja dimatikan, mungkin.

Sebelum memutuskan untuk datang ke sini secara diam-diam, aku sempat menghubungi Dobby. Menanyakan apakah hari ini Haruto ada latihan basket atau tidak. Karena memang hanya Dobby lah orang yang paling dekat dengan Haruto.

Dari kejauhan ini aku masih bisa melihat betapa luasnya halaman sekolah Haruto. Bangunan gedung yang mewah membuatku terpaku untuk kesekian kalinya. Sepertinya bel pulang baru saja berdering karena kulihat masih banyak murid yang berkeliaran.

Jika boleh jujur, aku malu datang ke sini sendirian. Sumpah demi Tuhan, saat ini aku menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang lewat dan melihat aku berdiri tegap di depan gerbang sekolah. Layaknya anak yang tersesat tanpa tahu arah pulang.

Namun, untuk saat ini kutepis semua rasa itu. Kubuang jauh-jauh rasa malu hanya karena ingin bertemu Haruto. Tidak banyak yang ingin kukatakan padanya, aku hanya ingin menanyakan kenapa dia bersikap demikian. Aku lelah harus begini. Seharusnya Haruto tahu jika aku benci kesenjangan antara aku dan dia. Aku benci jarak yang menjadi tembok penghalang untuk hubungan kami berdua.

Pelan tapi pasti, kakiku melangkah mendekat memasuki lapangan sekolah yang sudah lumayan sepi. Meskipun tidak seramai tadi, tetapi pada kenyataannya aku masih menjadi pusat perhatian siswa-siswi yang ternyata masih ada di sana.

Saat ini aku merutuki diri sendiri karena bersikap ceroboh. Seharusnya aku mencoba untuk menghubungi Haruto lagi. Walaupun tipis harapan bahwa dia akan mengangkat telepon dariku. Aku yang tidak bisa berbasa-basi dan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, membuatku terlihat seperti orang bodoh. Aku hanya tersenyum kikuk kepada setiap murid yang aku lewati.

Bersamaan dengan angin yang bertiup hingga membuat rambutku terusik, kulepas earphone sebelah kanan, kemudian mengedarkan bola mata ke setiap sudut sekolah.

Menyebalkan. Tidak ada satupun dari mereka yang kukenal. Kubuka lebar-lebar netra cokelat ini, berharap menemukan sosok Dobby di sana. Kehadiran dirinya mungkin akan membantuku untuk lebih mudah menemukan keberadaan Haruto.

"Permisi, kamu kenal Haruto?" hingga dengan terpaksa aku harus membuka suara. Kutepuk pelan lengan siswi berambut panjang bergelombang dengan pita merah di sana.

Kutatap lekat wajah dengan pipi tirus dan mata yang bulat tersebut, menatapnya penuh harap. Entah harus bagaimana lagi aku bisa mencari keberadaan Haruto di sekolah sebesar ini. Aku tidak tahu saat ini sedang berada di mana. Karena jujur, sejak tadi aku hanya melihat deretan ruang kelas dan murid yang tersisa.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz