17. My Worst

110 25 120
                                    

Malam ini hujan lagi. Langit kembali menangis, menumpahkan segala keluh kesah dan beban yang ia tanggung. Setelah hilang tanpa kabar selama 2 hari, akhirnya bulir bening air hujan kembali jatuh menyapa bumi yang kering.

Hujan datang lagi, membawa sejuta keindahan juga ketenangan jiwa, tetapi tidak mampu membuat rindu melebur menjadi satu. Rindu yang datang bersama sendu, entah kapan dia akan pergi berlalu, karena saat ini aku hanya diam terpaku.

Dalam hangatnya pelukan selimut tebal yang membungkus tubuh, kubiarkan rasa dingin hilang secara perlahan. Sekarang pukul 8 malam, seharusnya aku sudah tidur. Tetapi, entah mengapa mataku tidak ingin tertutup meskipun sebenarnya aku ingin beranjak tidur. Pikiranku melayang entah kemana, terbang bersama angan, kemudian hilang diterpa hujan yang datang.

Haruto masih seperti biasa, hilang tanpa mengabari aku, atau setidaknya datang ke rumah untuk meminta maaf seperti tempo hari. Namun, kurasa Haruto benar-benar marah sehingga tidak ingin meminta maaf lebih dahulu. Bahkan pesan yang sempat ku kirim padanya tadi sore masih belum dibalas dan dibaca.

Mustahil jika Haruto tidak bermain ponsel seharian ini. Aku tahu anak lelaki itu adalah pecinta game online. Tidak mungkin notifikasi pesan dariku tidak terlihat dilayar ponsel dan membuatnya menjadi enggan untuk membalas pesan tersebut.

Sumpah demi Tuhan, aku malas untuk bertengkar. Bosan harus berada dalam situasi canggung seperti ini. Aku ingin menikmati suasana hangat di mana aku dan Haruto duduk berdua. Hanya bercanda sambil tersenyum, menceritakan tentang hari yang sama-sama kami jalanani. Aku rindu suasana seperti itu.

Sialnya, kenapa malam ini aku merasa sangat merindukan Haruto? Aku rindu mendengar suara berat dan melihat senyum manis dari wajah tampan itu. Aku rindu hangatnya pelukan Haruto.

Hujan masih turun dengan deras, bahkan suara petir juga ikut menyambut kedatangannya. Membuatku memejamkan mata dan meringkuk dalam balutan selimut. Suara dering ponselku menjadi tersamarkan ulah petir tadi, takut-takut kutatap layar ponsel yang menyala. Berharap jika pesan itu dari Haruto. Tapi...

Dobby🐰
|Aku ada di depan

Hah? Gimana-gimana?

Keningku berkerut melihat isi pesan dari Kim Doyoung. Anak lelaki yang biasa dipanggil Dobby itu membuatku hening beberapa saat guna mencerna deretan kalimat ambigu tersebut. Merasa janggal karena akhir-akhir ini Dobby lebih suka membuatku terkejut sekaligus heran karena sikapnya yang sulit ditebak.

Beritahu padaku bahwa saat ini aku sedang tidak bermimpi. Bagaimana bisa Dobby berada di sini ketika hujan masih turun? Jangan katakan bahwa dia menerobos hujan seperti waktu itu?

Jika iya, aku masih bisa memaklumi dia yang menerobos hujan hanya karena mengantarku pulang sore itu. Tapi, tidak dengan sekarang bukan? Apa alasan dia datang malam-malam begini?

Sejurus kemudian, aku terperanjat mendengar suara ketukan dari arah jendela yang tertutup tirai. Kutatap lekat jendela yang masih tertutup tanpa berniat untuk membuka. Suara itu terdengar lagi, cukup membuatku merasa takut jika kaca itu pecah. Aku tahu bahwa seseorang dengan sengaja melempar batu kecil hingga mengenai kaca.

Hampir saja aku berteriak ketika kaca jendela kamar kubuka. Kedua mataku melotot, membulat sempurna melihat Dobby di bawah sana. Pemuda itu benar-benar ada di depan rumahku. Berdiri di sana tanpa berniat untuk berteduh dari hujan. Tubuhnya basah kuyup.

Tanpa basa-basi aku segara berlari keluar kamar, menuruni anak tangga dengan langkah tergesa. Kuhiraukan panggilan kak Jaewon yang ternyata sedang asyik menonton siaran bola di ruang tengah. Hanya sendiri, menghiraukan bunda dan ayah yang sedang mengobrol bersama.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now