05. Hello Rain

235 45 169
                                    

Detik ini juga aku masih setia membungkam bibirku. Rasanya tidak ingin aku mengatakan apapun kepada Haruto sampai aku tiba kembali di rumah. Bahkan, kubiarkan anak bermata indah itu mengambil helm yang kupakai dan berlalu pergi tanpa mengucap sepatah kata. Haruto yang kutebak sedang marah padaku atas dasar kecemburuan, juga aku yang kesal padanya karena terlalu egois.

Dia marah tanpa alasan yang jelas. Cemburu hanya karena ada lelaki lain yang berjalan bersamaku. Aku tidak mengerti mengapa Haruto begitu marah padaku. Lelaki itu marah hanya karena kak Yedam.

Kuakui, Haruto adalah kekasihku, tetapi bukan berarti dia bisa membatasi pertemananku bukan? Aku memiliki hak untuk bergaul dengan siapa saja tanpa harus memilih teman. Tidak masuk akal jika aku juga harus menjaga jarak dari para lelaki yang ada dimuka bumi ini. Apalagi sampai harus berjalan di tempat yang sepi akan pria.

Aneh. Sikap Haruto benar-benar tidak seperti biasanya. Lalu, bagaimana dengan dia yang lebih mementingkan Yerim dibandingkan aku? Tidak pantaskah aku cemburu? Haruskah aku diam saja dan menerima fakta itu?

Sejak kejadian kemarin, aku maupun Haruto tidak saling berkomunikasi. Dia yang tidak biasanya marah terlalu lama, membuatku semakin jengkel karena ulahnya. Bahkan, pagi tadi dia tidak datang menjemputku seperti biasa. Sepertinya dia benar-benar marah.

Tidak seperti biasanya, Haruto pasti selalu meminta maaf padaku lebih dulu. Datang ke rumah sambil merengek kepada bunda agar mau membujukku untuk memaafkannya. Namun, tidak untuk masalah kami kali ini. Sepertinya perihal kak Yedam yang jalan di belakangku membuatnya marah besar.

Heol, apa salahnya?

Hingga saat ini aku tidak ingin mengirim pesan lebih dulu darinya, karena memang aku tidak merasa bersalah apapun pada dia. Aku benar dan aku enggan ingin meminta maaf padanya. Aku akan terus menunggu sampai kapan dia akan memperlakukan aku seperti ini, serta menunggu dia meminta maaf seperti hari yang lalu. Aku harap dia seperti ini karena ingin merenungi kesalahannya.

Haruto egois dan kerasa kepala.

Iya, lelaki itu memang memiliki sikap keras kepala dan tidak ingin dikekang. Dia akan tetap pada keputusannya dan tidak akan pernah berubah. Aku kenal Haruto sudah 2 tahun, dan aku juga paham sifat Haruto.

"Nggak pulang?"

Hingga suara bernada rendah yang berasal dari samping membuatku segera menoleh. Kudapati wajah kak Yedam yang kini berdiri tegap di sampingku. Pandangannya lurus ke depan, menatap rintikan hujan yang turun dengan lebat. Sekarang musim hujan, tidak heran rasanya jika hariku terus ditemani hujan setiap kali pulang sekolah.

Mendengus pelan, aku menghembuskan napas yang terasa berat dalam sekali hentakan. Seolah mengeluarkan semua beban dalam diriku. Berat rasanya memikul beban seorang diri.

"Kenapa nggak pulang?" Kak Yedam bertanya untuk kedua kalinya. Aku baru ingat jika akhir-akhir ini akan selalu bertemu dengan kak Yedam karena memang kami belajar bersama untuk olimpiade. Meskipun tidak satu jurusan, setidaknya kita belajar di tempat yang sama.

Jika boleh jujur, aku cukup terkesan dengan cara berbicara bahasa Inggris kak Yedam. Dia sangat fasih dan pintar melafalkan tiap kalimat bahasa Inggris. Entah itu berupa dialog, kosa kata, ataupun story telling. Pantas saja dia menjadi perwakilan olimpiade bahasa Inggris Minggu besok.

Selain pintar dalam hal belajar dan bermain alat musik juga seni, kak Yedam juga berprestasi dalam kegiatan olahraga. Bukankah sangat mengesankan memiliki anak seperti kak Yedam?

"Hujan, nggak lihat?" tuturku santai sambil mengayunkan tangan untuk mengadahkan tetesan air hujan ke tangan. Aku sedikit meringis merasakan dinginnya air hujan yang menyapa kulitku.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now