1. Berulah

735 68 5
                                    

Embusan napas kasar terdengar dari guru laki-laki itu. Ia memandang kedua muridnya yang tampak mengerikan dengan luka lebam di wajah masing-masing. Kendati demikian, tak sedikit pun didapatinya raut bersalah di wajah seorang dari kedua muridnya itu.

Narendra Ramana Putra. Ia justru asik mengunyah permen karet, memasang ekspresi seakan semua baik-baik saja.

“Buang permen karetmu sana! Dikira sopan apa?” Pak Azam---guru yang merupakan salah satu tim kedisiplinan siswa di SMA Garda Udayana---memerintah Naren.

Tidak butuh semenit untuk Naren kembali ke hadapan Pak Azam. Berdiri bersebelahan dengan Akram Aldireza---sosok yang beberapa waktu lalu terlibat baku hantam dengannya.

“Saya tidak habis pikir dengan kalian. Ribut kok hampir setiap hari.”

“Bukan saya yang mulai, Pak,” ucap Akram membela diri. Lelaki berpenampilan rapi itu melirik Naren sekilas. “Dia yang memancing emosi saya.”

Naren berdecih, kesal dengan Akram yang selalu melempar kesalahan padanya. Namun, ia memilih diam daripada menghabiskan tenaga hanya untuk menanggapi omong kosong Akram. Toh, sudah dipastikan Pak Azam tidak akan percaya dengan ucapannya, mengingat memang dirinya sudah terbiasa berhadapan dengan guru itu karena terlibat masalah.

“Kalian itu sama saja. Ditanyai apa masalahnya juga malah debat lagi. Sepertinya saya perlu memanggil orang tua kalian datang, agar masalah kalian kita selesaikan bersama. Atau paling tidak, kalian bisa mencari tempat untuk bertengkar selain sekolah. Di sini bukan tempat untuk hal-hal seperti itu. Sebelum pulang, ambil surat panggilan untuk orang tua di BK!”

“Oke, saya permisi.” Tak ingin menghabiskan waktu lebih lama di ruang kesiswaan, Naren mengambil langkah ke luar. Sejenak berdiri di depan ruangan, menghela napas panjang sebelum ia embuskan perlahan.

Mendengar derap langkah seseorang, Naren menolehkan wajah. Sekilas mempertemukan tatap dengan Akram, sebelum dengan cepat mengalihkan pandang. “Kampret emang tuh anak,” gumamnya seraya melangkahkan kaki meningalkan tempat itu.

***

“Obatin luka gue, dong!” Naren duduk di atas ranjang UKS dengan kaki menjuntai ke bawah. Ia menunggu respons dari gadis yang berdiri di depan lemari obat, membelakanginya.

“Gue ngomong sama lo, Leta.” Naren sedikit mengeraskan suaranya sebab gadis itu tak kunjung menjawab, sekadar menoleh padanya pun tidak.

Gadis bernama Leta Legistia itu berbalik badan. Melempar kapas, alkohol, dan obat merah ke arah Naren. Jika tidak cepat tanggap, Naren yakin ketiga benda itu akan berakhir mengenaskan di lantai. “Lo tau apa itu sabar, 'kan?” ucapnya seraya melangkahkan kaki mendekati Naren.

Naren mengedikkan bahu. “Ya udah, obatin luka gue sekarang.” Lelaki itu mengulurkan tangan. Berniat memperlihatkan luka di lengannya akibat tak sengaja tergores benda tajam, saat beberapa waktu lalu bertengkar dengan Akram.

Kendati malas, Leta akhirnya mendudukkan diri di sebelah Naren. Menarik kasar tangan lelaki itu untuk ia obati. Meski ringisan beberapa kali keluar dari mulut Naren saat dirinya membersihkan luka, Leta tak mengacuhkannya. Ia hanya ingin segera lepas dari lelaki biang masalah itu.

“Entar pulang bareng gue, yuk!” Naren melontar kalimat, mencoba membangun pembicaraan dengan gadis di hadapannya.

Leta tak lantas menjawab, menganggap ucapan Naren angin lalu selagi dirinya dengan telaten meneteskan obat merah, dan berakhir menutup luka di tangan Naren.

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now