26. Mengetahui Kebenaran

530 49 2
                                    

Rama tak melepaskan pandang dari putranya yang masih terlelap di ranjang pesakitan. Hari sudah larut, tetapi Naren masih enggan membuka mata. Perkataan sang putra sebelum tumbang kala itu terus saja membayang dalam benak. Menyadarkannya jika selama ini ia tak pernah dapat menjadi tempat bersandar putranya.

Pria itu meraih tangan Naren yang tak tertancap infus. Ia genggam erat selagi kepalanya tertunduk. Ucapan dokter beberapa waktu lalu masih meninggalkan perih di hatinya. Ia tak pernah membayakan hal buruk seperti ini harus Naren alami.

“Berdasarkan hasil CT scan, kami simpulkan bahwa putra Anda mengalami pendarahan pada otak. Apakah putra Anda baru saja mengalami kecelakaan?”

Rama kala itu terbungkam untuk beberapa saat. Ia bahkan tak tahu apa yang tengah putranya alami hingga harus menanggung kesakitan ini. Beruntungnya, pendarahan yang dialami Naren tidak terlalu parah dan segera mendapat penanganan sehingga meminimalkan peluang terjadinya hal lebih buruk. Dokter bilang, Naren akan ditangani dengan perawatan medis dan pemberian obat-obatan. Namun, meski begitu Rama tak sedikit pun dapat mengenyahkan ketakutannya.

“Maafin Papa, Ren.” Rama mengusap pelan surai legam sang putra. Di saat seperti ini, ia selalu dirundung rasa bersalah sebab terlalu sering mendewakan ego. Bahkan dirinya tak pernah benar-benar di sisi Naren kendatipun paham jika anak itu membutuhkan dirinya.

Hubungannya dengan Naren memang menjadi lebih renggang usai kematian istrinya. Anak itu selalu beranggapan jika mamanya meninggal karena ulah papanya. Rama memang tak pernah mengelak meski jelas dirinya tak bermaksud melakukan hal itu. Ia tak pernah menyangka jika istrinya saat itu nekat bunuh diri usai dirinya menggugat cerai. Yang membuat Naren begitu marah adalah sebab anak itu mengetahuinya berselingkuh dengan wanita lain. Rama paham jika Naren tak mudah memaafkannya untuk hal ini.

“Mas.”

Rama menoleh ketika mendengar panggilan pelan Safa. Wanita itu telah berdiri di sebelahnya dengan memberi senyuman hangat, meski tersirat kesenduan.

“Mas makan dulu, ya? Biar aku yang jaga Naren,” ucap Safa. Tak tega dirinya melihat Rama yang belum mengisi perutnya dengan apa pun sejak pagi.

Rama kembali memusatkan pandang pada putranya. Ia mengelus rambut Naren sebelum pada akhirnya bangkit berdiri. Sebuah kecupan hangat ia daratkan di kening anak itu. “Cepat bangun, Ren,” bisiknya tepat di samping telinga Naren.

Setelahnya, Rama meminta Safa untuk duduk di kursi yang semula ia tempati. “Tolong jaga Naren, ya? Aku nggak lama,” ucapnya sebelum mengambil ponsel di jas yang ia taruh di sofa, lantas keluar dari ruangan.

Rama tak langsung menuruti pinta istrinya. Ia justru menyalakan ponsel untuk menghubungi seseorang. Tak butuh waktu lama hingga panggilan terhubung dan didengarnya suara dari seberang telepon. “Bagaimana? Siapa dia?”

“Anak dari pemilik Giandra Group, Pak. Kami sudah mendatangi alamat tempat tinggalnya, tetapi dia tidak ada. Saat ini kami sedang mencari informasi terkait tempat yang biasa dia datangi untuk menemukan jejaknya.”

“Segera selesaikan! Jangan biarkan orang yang sudah melukai anak saya bebas begitu saja!” Rama berucap dengan penuh ketegasan. Beberapa waktu lalu, ia menghubungi teman-teman Naren untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada putranya. Hingga saat mendengar penjelasan Varo tentang perbuatan Delvin, jelas dirinya tak dapat tinggal diam. Ia pun makin naik pitam ketika saat itu Alya menyambung cerita tentang perbuatan Delvin padanya.

Rama memutus sambungan telepon. Mulai saat ini, ia berjanji jika terjadi hal buruk pada anak-anaknya, ia akan berada paling depan untuk membela mereka.

***

“Let, gue mau ngomong.”

Leta yang tengah berada di kantin terkejut mendapati Wildan yang tiba-tiba menghampirinya. Ia dapat menangkap keseriusan dalam raut lelaki itu, tetapi ragu untuk mengiakan. “Ngomong tentang apa?”

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now