16. Yang Hilang Darinya

256 46 5
                                    

Naren pulang di pagi hari setelah semalam menginap di apartemen Varo. Usai memasuki rumah, netranya disambut oleh pemandangan keluarga baru yang tampak begitu menikmati kebersamaan di ruang makan. Naren tak acuh. Ia memilih segera menuju kamar, tetapi langkahnya tertahan kala mendengar suara Rama memanggil namanya.

Naren menoleh dengan malas. Ia dapati sang papa memangkas jarak  dengan raut tersirat amarah. Naren tak heran. Ia bahkan telah siap untuk kemungkinan jika sang papa akan memberinya pelajaran.

“Ke mana aja kamu dari kemarin?” tanya Rama dengan nada dingin. Pria itu menarik tangan Naren, mengajaknya sedikit menjauh dari ruang makan. Ia hempaskan dengan kasar tangan lelaki itu usai berada di sisi rumah yang sepi. Mencium bau alkohol dari tubuh putranya, jelas membuat Rama semakin naik pitam. “Bukannya hadir di acara kemarin, tapi kamu malah mabuk-mabukan?”

“Aku udah bilang kalau Papa nggak usah berharap aku bakal dateng. Lagi pula udah selesai, ‘kan? Dia udah jadi istri sah Papa. Udahlah, nggak usah diperpanjang.” Naren hendak berlalu, tetapi Rama menahan gerakan lelaki itu. Mendorong kasar tubuh Naren hingga menyentuh tembok di belakangnya.

“Mulai hari ini, Papa harap kamu bisa lebih menjaga sikap. Hargai Tante Safa dan Akram yang udah jadi bagian dari keluarga kita! Panggil Tante Safa dengan ‘Mama’!”

“Papa tau apa jawabannya.” Naren berucap lirih, menatap wajah sang papa dengan sorot matanya yang begitu redup. Ia menarik napas panjang, diembuskannya dengan cepat. Susah payah menahan sesak akibat kenyataan yang harus ia terima. “Jangan paksa aku buat hal yang satu ini atau aku bakal gila!” Usai mengucapkan itu, Naren benar-benar berlalu.

Kali ini, Rama tak menahannya. Ia biarkan putranya pergi sebab dari rautnya, ia dapat menemukan ribuan luka. Mendadak pria itu merasa bersalah sebab terlalu mendesak Naren menerima kehadiran Safa. Ia menghela napas panjang, diembuskannya perlahan. Ia sadar jika Naren masih perlu banyak waktu untuk menepi dari lukanya, tetapi ia juga tak dapat membiarkan Naren terus-terusan terjebak dalam masa lalu. Ia benar-benar tak tahu harus dengan cara apa untuk mengembalikan Naren seperti dulu.

***

Alya berdiri di depan kamar Naren. Sejak tadi, ia tak mendapati Naren keluar dari kamar barang untuk makan. Rumah telah sepi sebab orang-orang pergi melaksanakan aktivitas rutin mereka, kecuali Safa yang masih berada di rumah. Ia yang hanya memiliki jadwal kuliah di siang hari pun belum ingin berangkat ke kampus. Gadis itu bersyukur karena dengan hal ini ia dapat lebih memperhatikan Naren. Alya cukup paham jika saat ini Naren membutuhkan teman.

“Makan dulu, Ren.” Alya berucap selagi mengetuk pintu kamar sang adik. Namun, tiada balasan dari dalam. “Kakak masuk, ya?” Tanpa menunggu persetujuan, Alya membuka pintu. Ia lebih dulu berjalan untuk menyingkap gorden, serta membuka jendela agar cahaya mentari menerangi kamar Naren.

Setelahnya, Alya memindai sekeliling. Tak ia dapati sosok Naren, tetapi suara air dari keran di kamar mandi membuatnya menyimpulkan sang adik berada di sana. Alya mendekat hingga berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Hendak berbicara, tetapi urung kala mendengar suara Naren yang seperti tengah memuntahkan isi lambungnya. Kerutan halus timbul di kening gadis itu. “Ren, kamu sakit?” tanyanya dengan suara cukup keras agar Naren dapat mendengar.

Alya tak lekas mendapatkan jawaban. Hingga beberapa menit kemudian, Naren membuka pintu kamar mandi. Alya mengamati lamat-lamat wajah adiknya, cemas tatkala Naren tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menempelkan punggung tangan di kening sang adik dan seketika sensasi panas menjalar ke kulitnya. “Panas, Ren. Pusing nggak?”

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now