11. Tak Dapat Terlepas

279 49 3
                                    

Mohon maaf, Kawan, babnya tidak berurutan. Pastikan ini lanjutan dari bab terakhir yang kalian baca ya🤗

****

“Motor lo masih bisa diselametin. Gue udah bawa ke bengkel,” ucap Delvin yang duduk di balik kemudi. Ia sekilas menatap Naren yang berada di kursi belakang, tampak sibuk memperhatikan suasana luar dari balik kaca mobil.

Naren sontak menolehkan wajah untuk menatap Delvin. Rahangnya mengeras tatkala ucapan itu berlabuh ke telinga. Padahal sebelumnya, Alya mengatakan jika kakak perempuannya itu yang telah mengurus motornya. “Jangan sampai lo apa-apain motor gue!” tegasnya.

“Ren!” Alya yang duduk di sebelah Delvin menegur sang adik. Ia menoleh ke belakang, mengisyaratkan agar lelaki itu dapat bersikap lebih baik pada pacarnya.

“Ya, kan gue udah bilang nggak usah dia yang ngurusin, Kak.” Naren masih menyimpan kesal. Namun, ia akhirnya diam sebab tak ingin mendebat lebih panjang. Masih cukup lemas tubuhnya untuk marah-marah karena baru saja keluar dari rumah sakit.

Tak ada pembicaraan yang berarti hingga mobil yang Delvin kendarai berhenti di halaman rumah Naren. Alya lekas turun untuk membantu sang adik, tetapi Naren menolak. Lelaki itu langsung berjalan memasuki kamarnya meski dengan langkah tertatih. Ia hanya ingin segera membaringkan tubuhnya yang masih terasa pegal di beberapa bagian.

Naren duduk di ranjangnya. Niatnya untuk berbaring urung ketika mendapati Alya memasuki kamar, lantas menempatkan diri di sebelahnya. Namun, tak segera gadis itu berucap. Naren pun tak ingin bertanya lebih dulu. Cukup lama, keduanya hanya diam.

“Lo nggak usah terlalu deket dan bergantung sama dia deh, Kak,” ucap Naren membunuh keheningan. Meski berkata dengan nada bicara yang tenang, keseriusan jelas terbaca dari raut lelaki itu.

“Kamu selalu bilang itu, tapi nggak pernah bisa kasih Kakak alasan yang jelas.” Alya tersenyum kecut. Ia melempar pandang pada sang adik, menatap lelaki itu yang juga tengah menatap dirinya.

“Yang selain dia ada, ‘kan? Gue nggak keberatan lo deket sama siapa pun, asal jangan dia.”

Alya terdiam, benar-benar tidak mengerti mengapa Naren tampak sangat membenci kehadiran Delvin dalam hidupnya. Mungkin sebab pertemuan pertama mereka yang tak terlalu baik, yang pernah menyebabkan baku hantam antara keduanya.

Naren menghela napas kasar. “Lo boleh deket sama dia, tapi please jangan terlalu bergantung sama dia! Jangan terlalu menganggap kalau suatu saat dia nggak bakal nyakitin lo.”

“Kakak tau apa yang harus Kakak lakuin, Ren. Kamu nggak perlu khawatir,” ucap Alya, sebelum bangkit berdiri. “Kakak keluar dulu, kamu istirahat.”

Naren memandang kepergian sang kakak hingga tubuh gadis itu tak lagi terjamah netra. Ia sejujurnya mengkhawatirkan Alya yang terlalu berpikiran positif kepada siapa saja. Ia hanya tak ingin jika rasa sayang Alya pada Delvin akan menjatuhkan gadis itu pada jurang penyesalan. Ia cukup paham seperti apa sosok Delvin di luar yang Alya tahu.

***

Naren meringis ketika mencoba bangun. Tubuhnya masih terasa ngilu meski tak separah hari-hari sebelumnya. Hendak dirinya pergi ke kamar mandi, tetapi urung ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka. Sosok sang papa lantas ia dapati di sana, berjalan mendekatinya.

“Gimana keadaan kamu?” tanya Rama ketika dirinya berada di hadapan sang putra. Ia cukup khawatir ketika mengetahui jika Naren mengalami kecelakaan. Namun, urusan di luar kota membuatnya tak dapat segera menemui Naren. Pun, ia mendapat kabar jika luka yang dialami Naren tidak terlalu parah, sehingga ia pikir tak apa jika tak segera menemui putranya. “Maaf Papa nggak bisa nemuin kamu di rumah sakit, ada urusan penting di luar kota.”

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now