23. Hati yang Patah

259 40 1
                                    

Esoknya sepulang sekolah, Naren benar-benar mengajak Leta pergi. Ia bergandengan dengan gadis itu menyusuri taman kota yang tak begitu ramai. Beberapa kali mereka mengambil foto bersama, hingga berakhir duduk di bawah sebuah pohon rindang. Semilir angin sore membelai wajah dua remaja itu, meleburkan penat mereka usai berkutat dengan pelajaran.

“Ngantuk,” ucap Naren yang tengah duduk bersandar pada pohon. Ia menoleh menatap Leta yang duduk di sebelahnya, tampak sibuk dengan ponsel. “Ngapain, Let?”

“Bikin status,” jawab Leta, terkekeh pelan.

Upload yang foto kita dong.”

Leta menggeleng. “Nanti jadi bahan gibah satu sekolah.” Gadis itu terkekeh pelan. Ia menyimpan ponsel usai puas memainkannya.

Naren tertawa kecil. Ia menghadapkan tubuh pada Leta. Lelaki itu merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sana. Ia menyodorkan kotak berpita merah itu pada Leta. “Buat lo. Happy sweet seventeen,” ucapnya seraya mengukir senyum.

Leta tak segera menerimanya. Ia masih terkejut sebab Naren tahu jika hari ini adalah hari ulang tahunnya. Gadis itu terpaku cukup lama. “Lo … tau?”

Naren selalu tak dapat menahan tawa ketika Leta menunjukkan ekspresi bingungnya. Ia meraih tangan gadis itu, lantas memberikan hadiah yang ia bawa untuk Leta. “Tau dong. Tapi, bukanya di rumah, ya? Apa pun yang terjadi, gue harap lo bakal simpen ini.”

Leta tersenyum, lantas mengangguk. Ia menurut untuk membuka hadiah dari Naren di rumah sehingga ia meletakannya ke dalam tas.

BTW, gue ada undang orang dateng ke sini. Tunggu dulu, ya?”

Leta mengerutkan kening. “Siapa?”

“Tunggu aja.” Kali ini Naren mengguratkan senyum dengan terpaksa. 

“Oke-oke.”

Naren menatap dalam sepasang netra Leta. Ia diam beberapa saat sebelum berkata, “Gue sayang lo, Let. Gue nggak tau kapan persisnya gue ngerasain perasaan ini ke lo. Yang jelas, buat kehilangan lo rasanya gue harus mati-matian buat berusaha. Dan gue nggak tau apa gue bisa siap buat hal itu atau enggak,” ucap Naren dengan suara yang mulai bergetar. Ia meraih kedua tangan gadis itu, menggenggamnya erat. “Maaf.”

“Kenapa minta maaf?”

Naren tersenyum, berusaha menutupi bermacam rasa yang tengah berkecamuk dalam hatinya. “Karena gue pasti banyak salah ke lo.”

“Padahal belum lebaran.”

Naren tertawa kecil. Ia mengacak puncak kepala Leta hingga membuat rambutnya berantakan. Mereka mengobrol dan saling melempar canda untuk beberapa waktu, sampai akhirnya datang seseorang yang sedari tadi Naren tunggu.

Delvin datang dari arah belakang Leta, membuat gadis itu tak menyadari kedatangannya. Naren seketika merasa jantungnya berdebar lebih kuat. Ia tak siap, tapi ia harus melakukan ini. Naren lantas berdiri, membuat Leta melakukan hal sama.

Leta mengerutkan kening ketika menatap Naren yang seperti tengah memperhatikan seseorang. Lantas, ia menoleh ke belakang. Leta sontak membelalakkan mata kala mendapati sosok Delvin berdiri tak jauh darinya. Tubuh Leta mendadak bergetar dengan degup jantung yang mengencang. Ketakutan datang cepat menguasainya.

Leta lekas memosisikan tubuh di belakang Naren. “Ren, kita pergi dari sini, ayo!” ajak Leta, menarik lengan lelaki itu. Namun, Naren tak menurutinya. Ia dapat menangkap ekspresi lain di wajah Naren. Sebuah tatapan dingin yang tak pernah ia bayangkan.

“Wow, lo masih sama cantiknya kayak dua tahun lalu,” ucap Delvin yang kini telah berdiri di hadapan Naren dan Leta.

Leta tak mengerti dengan situasi yang ada di hadapannya. Ia bahkan tak tahu mengapa Naren begitu erat menggenggam lengannya hingga ia tak dapat melepaskan diri. “Ren, please, kita pergi!” pinta Leta dengan netra yang mulai berkaca-kaca. Ia benar-benar takut dengan Delvin.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang