27. Tetap Harus Pergi

570 49 2
                                    

Setengah bulan berlalu dan banyak hal yang membaik. Delvin mendapat hukuman sesuai apa yang lelaki itu perbuat. Keadaan Naren pun mulai membaik usai menjalani masa pemulihan di rumah sakit. Hari ini ia diizinkan pulang sebab hasil CT scan kepalanya setiap hari menunjukkan perkembangan baik hingga bersih dari pendarahan.

"Papa gendong?" Rama bertanya pada Naren usai menghentikan mobil di pelataran rumah megahnya. Ia menoleh pada sang anak yang duduk di sampingnya, tetapi justru Naren memandangnya dengan tatapan aneh. "Kamu kenapa? Masih sakit?"

"Nggak apa-apa." Naren menjawab seperlunya. Ia kadang ingin tertawa ketika melihat perubahan dalam diri papanya. Perhatian yang pria itu tunjukkan seringkali berlebihan dan membuatnya tak biasa dengan hal itu.

Rama lebih dulu keluar dan memutari mobil untuk sampai di depan pintu mobil sebelah kiri. "Sini Papa gendong aja."

"Nggak usah, Pa," tolak Naren yang telah membuka pintu mobil. Namun, Rama tetap kekeh untuk membantunya. Pria itu bahkan kini berdiri memunggunginya dan merendahkan tubuh agar sang anak dapat dengan mudah naik ke punggungnya.

"Ayo!" Rama sedikit menolehkan wajah untuk menatap sang putra.

Naren pada akhirnya menurut. Ia membiarkan sang papa menggendongnya masuk. Kedua sudut bibir Naren tertarik tipis. Merasa begitu lucu dengan keadaan ini. Namun, tak pelak hatinya terasa hangat bisa sedekat itu dengan papanya.

"Berat?"

"Lebih berat beban pikiran Papa kalau kamu sakit kayak kemarin," jujur Rama. Beberapa hari ke belakang ia benar-benar tak henti dibuat kalut. Mengingat putranya yang mengeluh sakit hingga sempat mengalami kejang membuatnya serasa hampir mati berdiri. Syukurlah saat ini anak itu sudah lebih baik.

Naren tak lagi menanggapi ucapan sang papa hingga mereka sampai di kamarnya. Rama menurunkan Naren, membiarkan anak itu berbaring di ranjang. Naren menatap sang papa yang tengah memasangkan selimut untuk menutup sebagian tubuhnya, hingga akhirnya pria itu duduk di tepi ranjang. "Makasih, Pa."

Rama mengangguk, mengusap singkat surai legam sang putra. Ia tak tahu akan seberapa besar penyesalan yang harus ia tanggung, jika Tuhan tak memberinya kesempatan untuk dapat bersama lebih lama dengan putranya. Jelas ia tak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan Tuhan yang masih berkenan memberi keselamatan untuk sang putra.

"Jangan pernah buat Papa takut dan khawatir lagi, Ren. Papa juga minta maaf karena selama ini nggak pernah bisa ngertiin kamu. Papa janji akan perbaiki hubungan ini dan menebus masa-masa sedih kamu dengan kebahagiaan."

Naren tersenyum, dan lengkung bibir itu membuat Rama turut melakukan hal sama. Ia tak tahu kapan terakhir kali melihat senyuman tulus putranya. Kali ini ia tak akan membiarkan dirinya kembali kehilangan hal itu.

***

Leta mematut diri di depan cermin sembari mengelus bandul bertuliskan namanya pada kalung yang Naren beri. Gadis itu tersenyum, tetapi makin pudar ketika mengingat kenyataan. Ia tak pernah menemui Naren sejak lelaki itu di rawat di rumah sakit. Bahkan hari itu saat ia datang bersama Akram, Leta mengurungkan niat untuk bertemu Naren.

Setiap hari, Leta selalu mencari kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Naren. Namun, tak pelak lelaki itu selalu muncul dalam benaknya meski sekadar beberapa detik. Leta tak dapat membohongi perasaannya jika ia memang terlanjur menyayangi Naren, tapi ia pun harus berjalan sesuai kenyataan yang ada.

Dua hari lagi, ia akan meninggalkan Jakarta. Orang tuanya telah sepakat untuk pindah ke Semarang dengan berbagai alasan yang tak dapat ia bantah. Sebenarnya pun, sudah dari dulu mereka merencanakan hal ini. Kejadian yang menimpa Leta beberapa hari belakangan tentu kembali menguatkan keinginan orang tuanya untuk pindah.

Stagnasi✔️حيث تعيش القصص. اكتشف الآن