30. Akhir Kisah Ini

779 43 11
                                    

Empat tahun kemudian

***

Lelaki itu menatap pemandangan di balik jendela kereta api yang ditumpanginya, sembari mendengarkan alunan lirih lagu dari earphone. Sayangnya, titik air di kaca---akibat hujan---sedikit menghalangi pandangnya. Ia duduk dengan perasaan yang tak dapat dideskripsikan. Entah mengapa, semakin dekat dengan kota tujuan, semakin dirinya tak dapat mengontrol debar dalam dada. Sudah dalam hitungan tahun, tetapi rasa itu masih setia tinggal dalam hatinya.

“Penumpang yang kami hormati, sesaat lagi kereta api Dharmawangsa akan tiba di Stasiun Semarang Tawang. Bagi Anda yang akan mengakhiri perjalanan di Stasiun Semarang Tawang, kami persilakan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan Anda. Jangan sampai ada yang tertinggal atau tertukar ….”

Naren melepas earphone-nya lantas membereskan barang-barang yang ia pakai selama perjalanan. Akhirnya setelah enam jam lebih hanya duduk, ia sampai di stasiun tujuan. Usai kereta berhenti, lelaki itu mengambil tasnya di bagasi atas kursi, kemudian turut bergabung dengan keramaian orang yang juga hendak turun.

Naren mengehela napas panjang usai keluar dari kereta. Udara kota Semarang terhirup oleh indranya. Senyum lelaki itu mengembang sempurna. Ia berjalan melewati peron, menyusuri koridor samping rel untuk sampai ke pintu keluar stasiun.

Jalanan basah. Gerimis kecil masih tersisa usai hujan deras melanda. Dingin seketika merengkuh tubuh meski tak sedingin udara dalam kereta api yang ia tumpangi. Sepasang netra Naren meliar untuk mencari keberadaan seseorang. Hingga ia menoleh ke samping tatkala mendengar panggilan seorang gadis.

Senyum lebar Naren tercipta kala gadis sebayanya itu memeluk dirinya untuk melepaskan rindu. Hanya beberapa saat hingga kembali dilepaskannya.

“Ya Allah, Ren, udah berapa tahun nggak ketemu coba? Kangen banget aku.”

“Paling baru setahun, Fit.” Naren terkekeh pelan.

“Iya apa?” Gadis bernama Fitra itu mengerutkan keningnya. Namun, mengingat gerimis bisa saja kembali deras, ia mengajak Naren untuk segera menuju mobil dan menyambung pembicaraan di sana.

Naren memasuki mobil merah milik sepupunya dan duduk di kursi penumpang. Ia kemudian meletakkan tasnya di kursi belakang. “Gimana kabarmu?” Naren kembali membuka pembicaraan usai selesai berurusan dengan barang bawaannya.

Alhamdulillah, masih waras. Kamu gimana?” Fitra bertanya balik selagi mulai mengemudikan mobilnya membelah jalan kota Semarang yang sore itu masih cukup padat. “Capek pasti duduk di kereta hampir tujuh jam. Lagian kenapa nggak naik burung besi aja coba?”

“Pengin aja perjalanan jauh naik kereta, belum pernah soalnya. Sekarang udah tau rasanya.”

“Kapok?” Fitra bertanya disertai dengan tawa. Gadis itu menyalakan musik, tak terbiasa berkendara tanpa lagu-lagu galau yang menemani.

“Ketagihan justru. BTW, gimana kabar kuliah kamu?”

Fitra lagi-lagi tertawa. “Please, Ren, basa-basimu kurang mulus. Aku tau nih arahnya mau ke mana, tapi pura-pura nggak tau dulu deh.”

Naren tertawa hambar. Sepertinya ia memang tidak bisa untuk berbasa-basi ketika rasa ingin tahunya terlalu menggunung.

“Aman, sih. Anak sastra nggak terlalu banyak rontok rambutnya. Kamu sendiri gimana rasanya semester tua jadi mahasiswa teknik di UI? Aku kayaknya kalo jadi kamu udah botak sih. Nilai juga auto D semua.” Fitra kembali tertawa. Gadis itu memang mudah sekali untuk tertawa. Wajahnya pun selalu tampak ceria. Sosok yang begitu menyenangkan bagi siapa saja.

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now