8. Meminta Ruang

268 40 0
                                    

Mohon maaf, Kawan, babnya tidak berurutan. Pastikan ini lanjutan dari bab terakhir yang kalian baca ya🤗

****

Naren tak lekas menaiki tangga menuju kamar. Langkahnya sontak terhenti di bawah tangga kala mendengar suara papanya. Ia memutar arah menuju ruang tengah dan mendapati beberapa orang melakukan suatu hal di sana.

“Tolong pindahkan ke gudang semuanya!” Rama tampak memberi titah pada dua orang pekerja yang tengah melepas beberapa pigura di rumahnya.

Naren semakin mendekat dengan cepat. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia mengambil salah satu pigura yang diletakkan di sebuah kardus besar. Netranya sontak membelalak kala mendapati figur mamanya terpampang dalam pigura. Ia mengecek semua pigura yang diturunkan, sadar jika semua itu adalah foto yang terdapat potret sang mama di dalamnya.

Naren meletakkan kembali pigura yang sempat ia ambil. Fokusnya teralihkan pada Rama yang sedari tadi telah memperhatikan dirinya. “Papa apa-apaan turunin semua foto mama?”

Rama menghela napas pelan. Ia sudah menebak siapa orang paling tidak terima kala dirinya melakukan hal ini. Terbukti di hadapannya kini Naren berdiri dengan sirat amarah di wajahnya. “Udah saatnya kita buka lembaran baru, Naren. Lupain yang udah nggak ada!”

Emosi Naren memuncak usai kalimat itu terlontar dari sang papa. Ia semakin berjalan mendekat hingga jarak mereka hanya tersisa tak sampai satu meter. Naren tak punya niatan untuk menurunkan pandang, masa bodoh jika sosok di depannya berprotes sebab ia tidak sopan.

“Lembaran baru apa, Pa? Lupain siapa? Papa pikir Papa berhak bilang begitu ke aku?” Naren berucap dalam nada keras. Membuat dua orang lain yang ada di dekat sepasang ayah anak itu sejenak menghentikan kegiatan mereka.

“Terserah kamu kalau ingin terus-terusan terjebak dengan masa lalu. Papa nggak tertarik mengikuti jejak kamu.”

Naren menyunggingkan senyum miring. “Papa pikir dengan membuang semua foto mama, Papa bisa lepas gitu aja? Papa pikir dengan Papa kencan dengan wanita lain, semua akan selesai? Enggak, Pa! Rasa penyesalan itu enggak akan pernah pergi dari hidup Papa sekeras apa pun Papa mencoba mengelak,” ucap Naren penuh penekanan.

“Naren!”

“Kenapa, Pa? Bahkan saat aku cuma bilang begitu, Papa inget mama, ‘kan? Jangan lupain kalau semua itu salah Papa. Papa yang udah bikin mama pergi hari itu.”

Bug

Satu pukulan mendarat di pipi Naren usai lelaki itu mengakhiri kalimatnya. Tubuhnya sedikit oleng sebab ia tak siap dengan serangan dari Rama. Tanpa bisa Naren sangka, sang papa menarik kerah bajunya. Sekali lagi menghajar pipinya hingga ia terjatuh.

Rama jelas tak dapat terima ketika siapa pun itu, mengungkit masa lalu. Terlebih, menyalahkan dan memojokkan dirinya mengenai sebuah kesalahan. “Jaga bicaramu terhadap Papa! Jangan membuat asumsi bodoh seperti itu seolah-olah Papa nggak punya harga diri!” Usai berucap penuh penekanan, Rama berlalu. Meninggalkan Naren yang terduduk di lantai.

Naren mengusap sudut bibirnya, berdecak kala didapati bercak merah di sana. Pukulan Rama bukan main-main. Namun, lebih dari apa yang Naren rasakan pada goresan di sudut bibirnya itu, hatinya lebih dalam merasakan kesakitan.

“Jangan buang foto-foto itu, taruh di kamar saya!”

***

Naren duduk di lantai teras balkon kamarnya dengan tubuh ia sandarkan pada tembok. Kedua kaki ia tekuk, kepalanya tertunduk. Satu tangan lelaki itu meremas ponsel yang dipegang. Beberapa saat Naren tertahan dalam posisi itu, hingga ia mengangkat kepala. Meluruskan satu kaki lantas netranya berpusat menatap layar ponsel.

Stagnasi✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang