20. Jalan Ini Terlalu Pekat

362 43 2
                                    

Alya mengembuskan napas pelan tatkala memasuki kamar Naren dan melihat sosok itu masih tertidur di ranjang. Gadis yang masih memakai piama itu lantas berjalan mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang. Ia menempelkan punggung tangan di kening dan leher sang adik, lega tatkala suhu tubuhnya mulai normal. “Ren?” panggilnya, mengusap lengan Naren. Berharap lelaki itu berkenan bangun.

Naren menggeliat sebelum perlahan membuka mata. Ia mengerjap beberapa kali hingga menyadari Alya duduk di sebelahnya. Naren memperhatikan sekeliling, sadar jika dirinya berada di kamar. Ia kembali memusatkan pandang pada sang kakak.

“Puas tidurnya?” tanya Alya. Ia tersenyum kecil tatkala melihat Naren seperti kebingungan.

“Jam berapa?” Naren balik bertanya dengan suara seraknya.

“Enam.”

“Sore?”

“Pagi.”

Naren kali ini membuka matanya lebar-lebar. Ia tak sadar jika sekarang telah berganti hari setelah kejadian di halaman rumah bersama Akram. Naren benar-benar tak menyangka jika dirinya tidur selama hampir dua belas jam.

“Masih pusing?” Alya jujur khawatir ketika mendapat kabar jika sang adik tumbang kemarin sore. Meski dirinya masih cukup kesal dengan obrolan terakhir mereka, keadaan Naren langsung membuat rasa kesal itu kalah oleh kecemasannya.

Naren menggeleng, meski masih merasa sedikit pening. Ia berusaha membangunkan tubuh, kemudian bersandar pada kepala ranjang. Ditatapnya wajah sang kakak dan ia dapat menangkap sedikit kekesalan yang masih tersisa. “Masih marah?”

Alya menggeleng sebagai jawaban. Ia memilih melempar topik lain. “Kamu tuh harusnya lebih sayang sama badan kamu. Mentang-mentang di dapur nggak ada makanan, kamu bela-belain nggak makan. Over thinking-nya juga dikurangin, deh! Kalau sampai kejadian kemarin keulang lagi, Kakak nggak segan buat seret kamu ke rumah sakit, lho. Serius Kakak.”

Naren mendengkus lirih. “Iya, iya. Gue mau ke kamar mandi dulu.” Naren turun dari ranjang, lantas berjalan pelan menuju kamar mandi. Beberapa menit ia melakukan ritual pagi, hingga kembali keluar dengan handuk yang ia gunakan untuk mengelap wajah. Lelaki itu berhenti sejenak tatkala masih mendapati sang kakak duduk di tempat yang sama.

“Duduk sini!” pinta Alya, menunjuk ruang kosong di sebelahnya dengan isyarat kepala. Dari sikap Naren beberapa hari terakhir, jelas meninggalkan tanya bagi Alya. Ia yakin, ada yang disembunyikan oleh Naren darinya.

Naren menurut. Ia menggantung handuk sebelum kembali menaiki kasur. Duduk bersila selagi menyandarkan punggung pada kepala ranjang. “Kenapa?”

“Cerita coba. Kamu sebenernya lagi ada masalah apa, sama siapa? Nggak lagi macem-macem, ‘kan?” tanya Alya dengan raut serius.

Naren menelan ludahnya susah payah. Ia diam cukup lama, tak tahu harus memberikan alasan bagaimana. Akhirnya ia memilih menjawab, “Gue nggak ada masalah kok.”

“Bohong.”

Naren berdecak pelan. Ia tak suka ketika Alya melempar tatapan mengintimidasi seperti itu. Sangat membuatnya tak nyaman. “Coba lo agak santai deh, Kak. Gue ngerasa kayak diinterogasi sama polisi asal lo tau.”

Alya mau tak mau tertawa. Ia lantas mengubah ekspresinya menjadi lebih santai, meski jika seperti itu Naren pasti enggan untuk berkata jujur. “Gini, Ren. Walaupun kamu bilang nggak ada masalah, tapi sikap kamu tuh menjelaskan yang sebaliknya. Kakak cuma takut kalau kamu ngelampiasin semua itu pakai cara yang nggak bener.”

“Enggak kok.”

Alya mengangguk-angguk, berusaha percaya meski ragu tak luput menyertai. Ia menghela napas panjang, mengembuskannya dengan cepat. Kali ini, ia ingin membicarakan hal yang lebih santai. Pun, sulit baginya membuat Naren berkenan menumpahkan semua resah hati padanya. Ia juga tak ingin memaksa. “Pengin makan apa hari ini? Biar Kakak masakin.”

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now