22. Sesal

326 43 0
                                    

Meski ragu, Naren akhirnya melangkah masuk ke kamar sang kakak dengan membawa segelas susu hangat. Ia bergerak menuju balkon saat mendapati pintu balkon terbuka. Benar saja Alya di sana. Gadis itu tengah duduk di lantai, menangis seorang diri dengan menenggelamkan kepala pada kaki yang ditekuk.

Naren mendekat. Ia meletakkan susu yang dibawanya ke atas meja, sebelum mendudukkan diri di sebelah kakaknya. “Kak ….” Naren menyentuh pundak Alya, membuat gadis itu lantas mendongak untuk menatapnya.

Alya segera menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Sedikit ia terkejut mendapati kehadiran Naren. Sebab, sang adik jarang sekali untuk menemuinya jika sedang di kamar. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak.

Naren mengambil susu hangat di meja, lantas memberikannya pada Alya. “Minum. Lo biasanya lebih lega kalau dikasih ini.”

Alya tak langsung menerimanya. Ia memandang lama wajah adiknya, hingga sebuah senyuman kecil terbit di bibirnya. Lantas, ia menerima pemberian Naren. “Makasih,” ucap Alya, kemudian meminum susu yang Naren berikan.

Naren tahu jika Alya sedang hancur. Ia paham betapa tulus kakaknya pada Delvin. Tak mungkin gadis itu baik-baik saja setelah kejadian yang menimpanya.

Alya diam untuk beberapa waktu, membiarkan hening menyelimuti kedua bersaudara itu. Hingga kemudian ia berkata, “Ini nggak bisa Kakak terima. Kakak bakal bawa ini ke jalur hukum. Berani-beraninya dia berniat melecehkan Kakak.” Alya kembali larut dalam air mata. Ia benar-benar sulit untuk mempercayai perbuatan Delvin padanya. Perlakuan manis lelaki itu selama ini nyatanya palsu. “Maaf karena Kakak nggak percaya sama kamu, Ren,” lanjutnya dengan suara lirih.

Naren menoleh pada Alya. “Kak ….” Ia sejenak menjeda kalimatnya. Debar jantungnya berpacu lebih cepat usai Alya mengatakan hal itu. “Ini semua salah gue.”

“Hm?”

“Gue yang salah. Gue bakal jelasin, tapi tolong dengerin sampai habis. Jangan bicara apa pun sampai gue selesai sekali pun lo pengin marah-marah ke gue. Ya?” Naren menghadapkan tubuh pada Alya. Menatap gadis itu tepat di manik mata.

Alya jelas dirundung rasa penasaran usai mendengar ucapan Naren. Ia pada akhirnya mengangguk mengiakan. Bersiap untuk menyimak apa pun yang akan sang adik sampaikan.

Naren menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan semuanya pada Alya. “Lima bulan lalu, dua hari setelah lo ngenalin Delvin ke gue sebagai pacar lo, gue ketemu dia di bar. Main-main sampai akhirnya kita taruhan. Waktu Papa marah karena gue jual mobil gue, itu sebenernya karena gue jadiin mobil itu bahan taruhan sama dia.”

Naren mulai bercerita selagi pikirannya berkelana ke masa itu. Ia masih ingat bagaimana malam itu ia tenggelam dalam kesenangan yang mendatangkan petaka. Dalam keadaan yang setengah sadar karena pengaruh minuman alkohol, Naren masih saja melanjutkan permainan kartu bersama Delvin.

“Udah, Ren! Lo nggak mungkin ‘kan kalau harus ngasih motor lo?” Varo berucap saat lagi-lagi Naren dikalahkan oleh Delvin. Ia meraih lengan sahabatnya itu, berniat membawanya pulang, tetapi Naren menolak dengan menepis tangannya.

“Kayaknya nggak asik kalau kita taruhan barang mulu. Gue takut lo mendadak miskin.” Delvin berucap selagi memandang Naren yang telah kehilangan hampir separuh kesadarannya. “Masih berani nggak lo?”

Next,” ucap Naren, menantang.

“Oke, gini aja. Kalau lo menang, gue bakal nurutin apa pun perintah lo, begitu pun sebaliknya. Kalau gue yang menang, lo harus nurutin apa pun perintah gue. Dan kalau salah satu dari kita ngelanggar, maka yang menang berhak minta gantinya dengan hal apa pun. Deal?”

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now