29. Badai Telah Berlalu

452 45 9
                                    

Akram sebenarnya enggan menuruti Naren yang tiba-tiba meminta diantar ke pantai. Ia bukan sopir lelaki itu, tentu saja. Namun, membiarkan Naren pergi seorang diri pun rasanya bukan hal tepat. Ia tak ingin mendapat ceramah mamanya jika pulang tanpa orang yang kini menyandang status sebagai saudara tirinya itu.

Akram mengamati Naren dari jarak cukup jauh. Ia duduk di salah satu warung pinggir pantai sembari menunggu Naren selesai dengan renungannya. Namun, tatkala mentari makin tak terlihat dan Naren tak sedikit pun berniat beranjak, ia memilih mendekati lelaki itu. Akram sempat membeli air mineral di warung yang ia tempati.

“Berapa lama lagi gue harus nunggu lo meratapi nasib?” Akram melempar tanya usai sampai di dekat Naren. Ia turut mendudukkan tubuh di atas pasir, tepat sebelah Naren. Lelaki itu menyerahkan sebotol air mineral yang dibawanya pada Naren. “Minum dulu, biar kuat ngadepin cobaan hidup.” Tak diterima, Akram akhirnya meletakkan botol itu di hadapan Naren.

“Lo kalo mau balik, balik aja. Gue juga nggak minta lo buat nungguin gue.” Naren menjawab tanpa menatap lawan bicaranya. Pandang lelaki itu masih lurus ke depan meski tiada objek yang benar-benar ia fokuskan.

Akram mendengkus lirih. Ia tak berniat beranjak meski setelah itu tiada pembicaraan apa pun. Beberapa menit, keheningan menyelimuti mereka. Hingga Akram kembali bersuara, “Udahlah. Semarang tuh masih bisa dijangkau dengan mudah. Lo nggak perlu sesedih ini.”

Naren tersenyum kecil ketika ucapan Akram didengarnya. Ia pun tahu jika Semarang tak begitu jauh. Bahkan jika ingin, Naren bisa berangkat saat ini juga untuk bertemu Leta. Masalahnya, ia bukan mengkhawatirkan hal itu.

Jelas Naren paham jika dengan ini, Leta berniat untuk membuka lembaran baru. Tanpa dirinya, tentu. Naren pun tak ingin mempersulit apalagi memohon gadis itu untuk tetap tinggal. Terasa tak pantas ia menghentikan Leta setelah apa yang diperbuatnya. Naren hanya menyesal karena tak sempat bertemu dengan Leta untuk yang terakhir kali. Ia bahkan tak punya kesempatan untuk setidaknya mengucapkan kalimat “hati-hati di jalan”.

“Gue bukan khawatir nggak bisa ketemu Leta lagi. Gue cuma nyesel karena nggak punya kesempatan ketemu dia buat yang terakhir. Setelah semua yang gue lakuin, nggak mungkin gue harus rusak lagi lembar hidup baru yang dia mulai hari ini.”

Akram menoleh pada Naren. “Walaupun begitu, yang punya pena sama penghapusnya cuma Tuhan. Kalau Tuhan masih izinin lo buat ngisi kehidupan Leta, lo juga nggak bisa terus-terusan menghindar. Kalian berdua tuh kayak magnet. Ketemu di perasaan yang sama, tapi nggak mau disatuin dan saling menghindar.”

Untuk kali pertama, Naren dibuat bungkam oleh perkataan seseorang. Biasanya ia selalu punya cara untuk menjawab. Namun, kali ini ia hanya diam. Tak menduga juga jika Akram yang dapat melakukan hal itu.

Akram menghempas napas keras ketika mendapati raut tak percaya Naren usai ia berkata begitu bijak. “Gue mungkin nggak suka sama lo, Ren. Tapi, lama-lama gue sadar kita bakal selalu berantem kalau salah satu dari kita nggak ada yang ngalah. Cepat atau lambat pun kita emang harus terima kenyataan kalau kita udah jadi keluarga. Ya, gue dapetin kesimpulan ini setelah setiap malem over thinking mikirin hidup,” lanjut Akram.

“Lo lagi mau ngajak gue baikan?” Naren sekilas menoleh pada Akram.

“Cuma berusaha memengaruhi lo biar berpemikiran sama kayak gue. Kalau udah gitu, tanpa gue bilang pun kita bakal baikan dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu. Dan kembali ke masalah Leta, kita kayaknya udahin aja saingannya. As you can see, kita sama-sama berakhir jadi sad boy.” Akram tertawa kecil, membuat Naren melakukan hal sama. “Gue harap, setelah ini kita nggak suka sama orang yang sama lagi,” lanjut Akram.

“Kenapa enggak? Hidup Pak Azam bakal hambar kalau kita nggak berantem.”

“Hidup lo kali yang hambar kalo nggak berantem.”

Stagnasi✔️Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz