14. Rasa yang Tak Pernah Binasa

272 46 1
                                    

Mohon maaf, Kawan, babnya tidak berurutan. Pastikan ini lanjutan dari part yang terakhir kalian baca ya🤗

****

“Lo mau pesen apa?” Naren melempar tanya selagi membaca menu. Tak mendapat jawaban, ia akhirnya menoleh untuk menatap Leta di sebelahnya. Kedua sudut bibir lelaki itu terangkat kala didapatinya muka masam di wajah Leta. “Ceria dikit dong, kan mau makan.”

Leta menghela napas panjang, diembuskannya dengan cepat. Ia kemudian mengubah ekspresi menjadi lebih bersahabat, meski hatinya masih menyimpan kesal sebab Naren tiba-tiba membelokkan motor ke sebuah kafe. Bukan apa, ia hanya tak terbiasa makan hanya berdua bersama laki-laki. Namun, kali ini ia mencoba tak acuh sebab tak dipungkiri, perutnya pun terasa keroncongan. “Gue pengin mi. Ada nggak?” tanyanya.

Naren sedikit terkejut mendengar perkataan Leta. “Seriusan mi?”

Leta mengangguk. “Nggak boleh?”

“Y-ya boleh. Boleh kok.” Naren memanggil pramusaji untuk memesan. Lantas, usai menyampaikan apa yang dipesan, pramusaji itu berlalu. Menyisakan mereka berdua di tempat yang cukup menepi dari keramaian pelanggan lain. “Seharusnya gue ajak Kakak yang tadi juga deh. Siapa tadi namanya?”

“Kak Vina.”

“Iya, itu. Cantik banget dia.” Naren melirik Leta, tetapi bukannya tanda-tanda cemburu yang ia dapati, justru ekspresi geli Leta yang tertangkap oleh indranya. Mau tak mau Naren mengangkat kedua sudut bibirnya. “Masih kuliah dia?” tanyanya, tak mengalihkan topik.

Leta mengangguk. “Mahasiswi kedokteran UI, semester enam. Salut gue, udah semester atas, tapi masih nyempetin diri buat ngajarin anak-anak. Seharusnya tadi ada Bang Revan juga, saudaranya Kak Vina. Tapi, dia lagi nggak bisa dateng.”

Naren hanya mengangguk-angguk. Tak ingin menyambung lebih panjang pembahasan tentang gadis yang ditemuinya di Sekolah Bintang beberapa waktu lalu.

Tak dapat dipungkiri, hari ini cukup berkesan untuknya. Ia senang bisa menghabiskan waktu hingga sore bersama Leta dan berbaur dengan anak-anak di Sekolah Bintang. Saat itu, Naren mendadak merasa dirinya sedikit lebih berguna. Tak ia sangka mereka akan menerima kedatangannya dengan tangan terbuka. Bahkan, Naren sudah berencana untuk datang kembali ke tempat itu. Bersama Leta, rasanya Naren tak merasa waktunya terbuang sia-sia.

“Oh iya! Gue udah selesai baca novel yang dari lo. Besok gue balikin, sekarang nggak bawa.”

“Udah, buat lo aja. Gue juga udah hafal isinya.” Naren terkekeh pelan. Ia mengedarkan pandang ke setiap sudut kafe. Hingga berhenti tatkala menangkap figur seorang wanita di salah satu kursi. Naren kontan menegakkan tubuhnya.

“Nggak, gue---“

“Let, gue ke sana sebentar, ya? Kalau makanannya udah dateng, lo langsung makan aja. Nanti gue balik lagi, sebentar doang.” Naren bangkit dari duduknya, lantas menuntun kedua tungkai mendekati wanita yang tak lain adalah Safa. Meninggalkan Leta yang masih bertanya-tanya tentang dirinya.

Tak butuh waktu lama untuk Naren sampai di hadapan wanita itu. “Boleh saya duduk di sini?” tanyanya. Dapat ia tangkap keterkejutan di wajah Safa ketika wanita itu mendapati kedatangannya.

“Naren? I-iya boleh, silakan.”

Naren lantas duduk di hadapan Safa usai wanita itu mempersilakan dirinya.

Stagnasi✔️Where stories live. Discover now