S3

838 53 3
                                    


Jaemin

Tak peduli seberapa besar dan berat beban yang sekarang lo pegang,bagaimana pun juga pilihan lo cuma satu. Terus jalan dengan beban itu,kalian tidak akan tau,sesebentar atau selama apa beban itu pada kalian, hingga nanti waktunya beban itu kalian lepaskan,bukan lepaskan tapi terlepas.
Sehingga itu yang gue lakuin selama ini.
Jalan terus dengan beban beban itu.

"Jeno anjing kaki lo berat banget"
Perut gue rasanya keram.

Hampir sembilan tahun mengenalnya,bukan hal tersembunyi lagi kalau dia tidur muter muter kaya turbin.
Awalnya gue risih dengan mahluk ini,kelakuannya aneh,receh,parno tingkat akut,suka nempel.
Sampai akhirnya gue sadar,satu satunya orang yang mengerti gue sepenuhnya adalah dia,satu satunya orang yang gak pernah menghakimi gue.

"Moyed goes gak??" Pagi seperti ini biasanya dia yang sibuk bangunin gue buat sepedaan.

"Hm..males" dia mukul mukul kaki gue yang menendang perutnya, menarik selimut makin rapat.

Seharunya gue yang masih ngantuk karena ulah dia,jam satu malam dia minta gue temenin ke kamar mandi,gais asal lo tau aja kalau kamar mandi itu jaraknya cuman tujuh langkah dari kasur,suer deh gue tujuh langkah gak lebih gak kurang,dan dia....ahggrr..sebel gue ingatnya.

"Jaem lo udah beneran tidur?" Dia memukul mukul belakang gue keras.
"Nyet gue mau pipis nih" sampai gue diemin beberapa lama berharap dia ada keberanian sedikit buat ke kamar mandi sendiri
"Gue kencingin nih kasur lo" dengan terpaksa gue langsung bangun dan menarik tubuhnya ke kamar mandi.

Gue bangkit dari kasur meninggalkan tubuh bongsor itu.Seret ni leher cerita hal gafaedah.

"Papa hampir lupa kalau punya kamu"
Suaranya sinis,sama dengan tatapannya yang tak kalah sinis dapat gue rasakan.

Gue membuka lemari pendingin mengambil satu kaleng Soda.

"Umur kamu sudah duapuluh satu tahun,sudah dewasa, seharusnya kamu sudah menunjukkan sikap itu."

Gue berusaha mengabaikan.

"Tapi sampai sekarang pun kamu tidak pernah punya niat untuk membanggakan papa sama bunda"

Papa adalah orang terhormat.

"Satupun tidak ada yang bisa di banggakan dari kamu,beda sama adikmu,sejak dia kecil dia sudah bisa membanggakan keluarga ini dengan dapat rangking hingga lulus, cita cita adikmu jelas,tinggi,pasti.
semua penghargaan yang dia dapat sudah cukup untuk mencapai cita citanya"

Saking terhormatnya papa di mata gue,gak ada satupun ucapannya yang berani gue balas.

"Kamu cuma bisa bikin papa sama bunda kecewa"

Nadanya biasa saja,tidak ada emosi,hanya sedikit merendahkan.

Kaleng di tangan gue sudah tidak berbentuk,isinya belum habis.
Seharusnya gue ninggalin tempat ini dari awal papa bicara.

"Kamu mau makan apa?" Bunda.

"Mau bunda masakin apa?,
sesekali dengerin papa kamu kalau kamu tidak mau mendengarkan bunda."
Bunda,selalu berlagak seolah-olah tidak ada apa apa di antara kita.

"Jeno sudah bangun?" Tangannya santai mengikat aporn.

Mata gue memanas.Meletakkan kaleng yang sudah tidak berbentuk di atas meja dengan isinya yang sudah tumpah ke lantai.

Mata gue menatap toples kerupuk pisang di atas meja ini.

Bangkit meninggalkan dapur melewati papa yang sedang menatap gue sinis.

Satu yang gue sesali dari diri gue, kenapa gue selalu bungkam saat semuanya menghakimi gue semau mereka.

Kenapa setelah gue melepaskan satu beban hal itu justru membuat gue semakin keberatan?






#note

Huhuu..gimna ni??

Nyambungkaaann..jadi untuk cerita ini aku fokuskan sama Family trouble.
Kebanyakan masalah keluarga.
Nanti akan aku mulai dari hal hal sederhana..
Tentang membandingkan anak satu dengan yang lain sampai seterusnya...

Selamat bahagia dalam keluarga hari ini untuk Cencer.

Oke bye..

It's Okay_ (NOMIN)✔️Where stories live. Discover now