S28

231 13 1
                                    

*Prepare to end*

Na Jaemin Bhima giandra.

* 345600 detik sebelum kehilangan*

"Seandainya dulu kamu tidak membantah perkataan orang tua,kamu gak akan jadi kaya gini"
Ayah punya wibawa yang besar dalam dirinya,jadi setiap dia berbicara di depan meja,jari tangannya selalu bertaut.
"Kalau sudah seperti ini siapa yang pantas disalahkan"
Bunda hanya duduk di samping ayah yang sedari tadi perkataanya menyalahkan gue.

"Liat sahabat kamu itu,dia jadi ikut kena imbasnya"
Ayah menunjuk jeno yang duduk di samping gue.
Ruangan yang gue huni sebagai kamar selama beberapa Minggu lalu mendadak mencekik gue.
"Bunda bawakan kamu sama jeno makanan kesukaan kalian"
Bunda menyodorkan sekotak bekal yang entah apa isinya,karena gue gak pernah suka makanan apapun yang bunda masak,karena setiap duduk di meja makan gue gak pernah benar benar menikmatinya.

"Makasih Bund tapi hari ini Jaemin sudah bisa pulang kok,jadi bunda gak usah repot-repot,bunda bisa bawa pulang aja"
Jeno membalas ucapan bunda.

Hening.

"Ayah tunggu kamu untuk pulang ke rumah besok,kamu bisa tidak datang..."

"...kalau kamu sudah tidak mengaggap itu adalah rumah kamu"
Gue menghembuskan nafas berat.
Maksud ayah kalau besok gue gak datang,gue bukan lagi bagian dari rumah itu.

"Ayah capek mengurusi kamu"
Bunda mencengkeram  lengan baju ayah.
Apa yang sudah ayah lakukan selama uni buat gue sampai dia bisa selelah ini?.

"Makasih sudah datang menjenguk jamein,saya sudah dewasa,ayah bisa melepas saya supaya beban ayah gak berat lagi"
Gue menahan emosi. Jeno terus mengusap punggung gue dan menggenggam tangan gue.

"Seharunya ayah sama bunda gak perlu repot-repot datang ke sini, Besok saya akan bereskan barang saya di rumah kalian"
Gue tersenyum getir menatap mata ayah dan bunda bergantian.
"Nak bukan begitu maksud ayah"
Mata bunda berkaca kaca. Persetan sama diri gue yang gak pernah sanggup liat bunda sedih.
"Bunda juga gak usah repot-repot lagi memikirkan Jaemin"
Ucap gue tulus.

"Saya minta maaf karena gak bisa jadi anak seperti yang kalian harapkan"
Gue ingin menghilang dari sini.

"Bagus kalau kamu sadar"
Gue ingin menulikan telinga ini dari  perkataan ayah yang akan keluar selanjutnya.
"Ayah akan kasih kamu uang saku,dan jangan pernah menampakkan diri kamu lagi di depan saya"
Ayah bangkit di susul bunda,gue melihat dia meletakkan satu kartu untuk gue.
Bajingan.

"Satu lagi,Saya tidak lagi membenci kamu,
Jadi berhenti benci sama saya"
Ucap ayah di ambang pintu kemudian mereka menghilang dari pandangan gue.

Rasanya berat untuk menerima kenyataan ini,tapi di sisi lain,beban gue seakan terangkat .
Ini kah yang gue meu?

Ayah tidak lagi membenci gue mulai sekarang karena gue gak akan pernah lagi muncul di hadapanya dan memberatkan dia.

Jeno memeluk tubuh gue erat sambil mengusap kepala gue dan terus berkata.

"Gapapa,ada gue"

"Gapapa Jaem,lo gak salah"

"Gada yang salah"

Iya..gak ada yang salah,karena memang sudah begini yang takdir tentukan.



Lee Jeno Ardannamasai djuanda

*172800 detik sebelum kehilangan*

Dua hari lalu,setelah masalah yang Jaemin hadapi sudah di anggap selesai,gue memutuskan untuk membawa dia ke rumah.
Awalnya jaemin menolak dan mau tinggal sendiri dan sewa apartemen,tapi Mami juga membantu buat membujuk dia untuk tinggal bareng kami.
Rumah ini kekurangan penghuni.

"Papi kamu gimana Jen"
Ini yang membuat gue selalu berdosa sama Mami,karena setiap makan Malam,Mami hampir setiap hari menanyakan kabar pria itu.Dan gue jadi benci.
"Jeno udah gak pernah ketemu Mi"dia sudah menikah.
"Kami seharusnya datang dulu waktu papimu nikah,Mau tau Mami secantik apa pengganti Mami ini" Mami mengibaskan rambutnya.
Mami memang cantik,cantik banget,Jaemin aja kalah.ehe.
"Jelek palingan Mi"
Gue menjawab malas.

"Apa yang jelek?"
Jaemin datang mengenakan piyama tidur kesayangannya.
"Lo jelek"
Gue spontan menjawab,Mami menggeplak kepala gue.
"Bisa bisanya kami bilangin Nana jelek, sedangkan kamu udah cinta mati sama dia"
Gue membulatkan mata,Mami kalau ngomong emang suka bener kaya Haechan.
Jaemin kemudian menarik piring di tangan gue dan membantu meletakkannya di  meja makan.
"Awas tuh mata loncat"

"Kok Mami tau kalo Jeno suka sama Dia"
Ucap gue sambil menunjuk jaemin,yang di tunjuk kaget dan mendelik melihat tingkah gue.
"Taulah Mami"
Mami menuangkan telur kesukaan gue ke piring.

"Ih Mami mah main rahasia rahasiaan"

"Udah sini makan"
Gue cuman menatap Jaemin yang mengambil nasi.
"Yang ambilin dong"
Gue menyodorkan piring gue juga,Mami melotot.
"Yang,yong yeng,emang si Nana mau sama kamu?"
Bahu gue merosot,mami suka banget jatuhin mood anaknya ini.

Tapi gue langsung tegap lagi waktu jaemin memberikan piringnya yang sudah berisi nasi  lengkap dengan lauknya.
"Makasiihh"
Ucap gue sambil senyum ke arah dia.

*
*
*

"Jaeminn!! Ayo cepaaatt"
Gue teriak dengan keras di depan pintu rumah,akhirnya sekian lama gue menunggu waktu ini tiba juga.
"Heh gausah teriak"
Gue Berbalik menatap dia yang sudah berdiri di belakang gue.
Badannya sudah sedikit membaik karena Mami selalu masak yang enak buat kita supaya badan jaemin balik normal lagi.

Gue masih berdiri di tempat menatap dia dengan celana jeans putih dan hoodie toska kesayangannya,hampir setiap hari gue melihat dia tapi malam ini dia benar-benar mencuri perhatian gue.
"Ngapain ganteng ganteng?"
Kalau dia ganteng kaya gini kan gue jadi males,nanti dia di liatin orang banyak kan gak ikhlas gue.
"Ha?"
Dia cengo mendengar ucapan gue.
Tanpa sadar gue langsung menarik badannya untuk mendekat,gue gak tahan melihat wajahnya yang sekarang tamba cerah.pelukan kali ini rasanya berbeda terasa lebih hangat,lebih nyaman,dan lebih berkesan.

"Kenapa si Jen" dia gak melepaskan pelukan gue,"balas dong peluknya", tangannya mulai melingkar di pinggang gue. Gue menutup mata merasakan sentuhan tangannya di balik baju gue.
Baunya masih tetap sama,Bau blueberry tapi sekarang sudah sedikit tercampur dengan punya gue yang aromanya  lebih tajam.
"Lo kenapa? udah woy"
Lima menit, sepuluh menit,lima belas menit,gue gak tau sudah selama apa gue memeluk tubuhnya.

"Besok aja kita ke pasar malamnya yah,gue mau gini terus aja sama lo"

Gue menenggelamkan kepala ke perpotongan lehenrnya, mengambil oksigen sebanyak banyaknya di sana.

"Haha..gimana sih"
Gue mendengar dia tertawa.
"Udah dong ayok"
Tangan gue perlahan terlepaskan dari tubuhnya,gue menghela nafas.
Sebenarnya kita sudah beberapa kali mau pergi ke pasar malam,entah kenapa pergi ke sana adalah sebuah ke harusan yang harus kits lakukan. Tapi setiap mau pergi selalu ada juga hal yang membuat kita terpaksa menunda kepergian kita.

Gue takut banget kehilangan dia.

Gue selalu takut untuk meninggalkan dia sendirian,karena gue takut untuk gak bisa menemukannya lagi.

Setiap malam gue selalu takut untuk tidur dengan nyenyak,Gue takut besok gue gak bisa melihat senyumnya lagi.
Gue takut setiap gue memeluk dia itu adalah pelukan terakhir,gue takut gak bisa lagi menggenggam tangannya dengan erat dan bilang ke dia kalau gue selalu ada buat dia.
Gue takut kalau telinga ini gak bisa lagi mendengar Tawa renyahnya.
Gue takut kalau raga ini gak bisa lagi merasakan kehadiran dia.

Gue selalu takut dengan semua hal yang berhubungan dengan sosoknya.

Gue takut banget.

  takut  banget kalau ternyata semua ketakutan itu datang lebih cepat dari yang gue kira.

#note

Up sore gini gpp yah(~ ̄³ ̄)~

Selamat berbuka💚💌

It's Okay_ (NOMIN)✔️Where stories live. Discover now