Haruto Pernah Merasakannya

2.3K 447 196
                                    

Haruto langsung membulatkan matanya, ibu jarinya dengan cepat mengetikkan sesuatu.

Lima puluh lebih panggilan tak terjawab dari Mao.

Tentu saja Haruto panik. Temannya yang satu itu hanya akan menelponnya jika dalam kondisi sangat genting.

"Hallo?" Haruto langsung menjawab panggilan masuk dari ponselnya.

"Selamat malam. Apa saya sedang berbicara dengan salah satu keluarga atau kerabat pemilik ponsel ini?"

"Iya ..." jawab Haruto ragu. Ia merasa bingung karena bukan Mao yang menjawab panggilan suaranya.

"Saya Baro, petugas palang pintu kereta api di Pasar Subuh ... ... "

Mata Haruto langsung membulat, mendengar penjelas dari pria yang memegang ponsel Mao membuat ia langsung bergegas keluar dari kamarnya.

"Lo mau ke mana?"

"Teh pinjem motor." Bukannya menjawab pertanyaan Dahyun, Haruto justru meminta izin untuk memakai motor yang bisanya dipakai oleh Dahyun.

Waktu menunjukkan pukul setengah tiga dini hari. Haruto bahkan baru pulang itikaf di masjid, dan lanjut membangunkan orang sahur. Niat awal ketika tiba di kamar adalah tidur sebentar dan bangun pukul empat. Tetapi saat tadi membuka ponsel, ia langsung terkena serangan panik seketika.

Laju motor yang Haruto kemudikan sudah masuk dalam kecepatan tinggi. Sarung ya ia pakai bahkan bergerak kesan-kemari karena terkena angin malam.

Jam-jam seperti ini adalah waktunya pasar ramai. Membuat Haruto harus berdecak beberapa kali karena terkena macet. Remaja itu bisanya sangat sabar dan menikmati kemacetan, tetapi berbeda dengan subuh ini. Ia berkali-kali menekan klaskon motor Sang Teteh.

"Permisi ..." setelah mengeluarkan segala kemampuannya untuk nyalip diantara pengemudi lainnya. Di sinilah Haruto berada. Di depan sebuah pos perlintasan kereta api.

Dua orang pria yang sedang makan sahur di depan pos langsung berdiri menyambutnya. "Temannya Neng Mao, ya?"

Haruto langsung menganggukkan kepala, "Iya, Pak. Saya Haruto."

"Saya Baro yang tadi berbicara di telpon," jelas pria tersebut. "Neng Maonya ada di dalem, A. Sengaja kami kasih privasi buat menenangkan diri.

"Dari jam dua saya berusaha menghubungi anda. Karena memang hanya hanya ada kontak anda di ponselnya Neng Mao."

Haruto menghela nafasnya, pasti temannya itu kembali menghapus akses komunikasi dengan yang lain.

"Terimakasih ya, Pak ..." kata Haruto. "Saya izin masuk dulu."

Pria tersebut langsung menganggukkan kepalanya, memberi izin untuk Haruto untuk masuk.

"Udah makan belum?"

Mao masih tetap terdiam, tatapannya terlihat kosong. Tidak menangis, tetapi tidak bisa dibilang baik-baik saja.

Haruto menggarukkan kepalanya, ia bingung sendiri harus berkata apa.  Takut salah bicara, dan berakibat fatal akibatnya.

"Gue gak mau pulang ..." gumam Mao. Tatapannya masih tetap kosong. "Gue mau ke Papah."

"Heh! Nyebut!" kata Haruto dengan reflek. "Jangan asal ngomong."

"Harusnya sekarang gue udah ketemu Papah. Harusnya sekarang Mamah udah bahagia."

Haruto menghela nafasnya. Mao jika sedang putus asa memang selalu berbicara seperti itu, tetapi walaupun Haruto sudah sering mendengarnya, Ia tetap tak bisa membalas perkataan Mao.

[3] KIMcheees 3x✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang