BAB 8.1 [SMILE MOON NIGHT]

227 31 68
                                    

Semilir angin berhembus diantara pucuk-pucuk dedaunan. Kesejukannya membelai lembut selambu putih yang berkibar perlahan pada daun jendela sebuah kamar yang dibiarkan terbuka.

"Hei, Gun. Sampai kapan kau mau menangis? Hmm~~ ??!!" tanya Omi sambil membelai punggung Gun-chan.

"Aku, tidak!!" sahut Gun-chan di balik ceruk leher Omi.

"Hhh... Kau sudah membuat bajuku basah dan masih mengaku tidak menangis? Kau pikir aku seorang anak kecil yang bisa kau kelabui? Bodoh!!" kata Omi sambil berusaha melepaskan pelukan Gun-chan. Ingin melihat wajah lelaki dihadapannya.

Gun-chan mencengkeram kemeja belakang Omi demi tak ingin melerai pelukan itu. Seberapa kuat Omi memaksa, Gun-chan memeluknya semakin erat hingga terasa sesak.

"Oke. Oke. Baik. Peluk aku hingga kau puas. Tapi kasihanilah badanku yang hampir kau remukkan. Aku takkan memaksa kau melepasku, tapi longgarkan sedikit saja agar aku bisa melihatmu. Hmm?!" kata Omi sambil membujuk Gun-chan yang kukuh memeluknya seolah jika pelukan itu lepas, salah satu dari mereka bisa menghilang.

Omi merasakan Gun-chan menggeleng kuat di antara bahu dan lehernya. Ia bisa merasakan hembusan nafas Gun-chan yang menggelitik kulitnya membuatnya meremang dengan alasan yang berbeda.

"Hhh..." pasrah, Omi hanya sanggup menghembuskan nafas berat sambil menahan sesuatu yang bisa membuatnya khilaf karena aroma tubuh Gun-chan yang semakin meracuni sel-sel tubuhnya yang menginginkan pelepasan hasrat.

Waktu pun berlalu begitu saja. Gun-chan masih bertengger dalam pelukan Omi dan Omi masih memeluk Gun-chan dalam diam. Masing-masing dari mereka tak lagi ribut dengan posisi mereka.

Mereka hanya ingin menikmati, bagaimana tubuh mereka saling melekat. Bagaimana tubuh mereka bisa terasa benar-benar pas disana dan mereka benar-benar menikmati moment sederhana itu.

Senja temaram kini melukis dinding kamar dengan semburat kuning kemerahan. Perlahan, pelukan Gun-chan mengurai dan menyisakan kedua tangannya yang menumpang di bahu Omi, sementara Gun-chan menunduk. Terlalu malu untuk menatap kedalam mata Omi.

"Gun, tatap aku." pinta Omi.

Gun-chan tetap menunduk. Sungguh ia tak punya muka untuk sekedar mengangkat wajahnya. Ia yakin, Omi akan tertawa mengejek dirinya sebentar lagi. Sayangnya, pikiran Gun-chan salah.

Omi mendekatkan wajahnya untuk sekedar mencium puncak kepala Gun-chan. Perpaduan bau shampo, tanah, bunga krisan bahkan bau matahari tercium indranya. Tidak cukup buruk, batin Omi.

Gun-chan tersentak saat merasakan ciuman ringan dipuncak kepalanya. Namun ia masih kukuh menunduk. Gun-chan malah menutup kedua matanya erat-erat, sementara rasa panas menjalar perlahan dari daun telinga ke kedua pipinya.

Omi menunggu beberapa saat lagi. Dan setelah yakin akan ke keras kepala an lelaki dihadapannya, yang kukuh tak ingin melihatnya, Omi lantas mengangkat tangannya seraya berbisik,

"Tatap aku, please. Aku ingin melihatmu, Gun-chan."

Sentuhan jari jemari Omi pada pipi Gun-chan terasa ringan, lembut dan tidak menuntut. Namun karena itulah, Gun-chan dengan patuh mengangkat wajahnya yang memerah terbakar malu. Perlahan, obsidian Gun-chan pun lekat menatap obsidian Omi.

Omi bisa melihat kedua mata Gun-chan yang sembab dan terlihat letih untuk sekedar terbuka. Omi juga menyadari semburat merah pada wajah Gun-chan, sementara jejak-jejak air mata menodainya.

Sangat berantakan, dan semua ini karena dirinya, batin Omi penuh sesal.

"Maaf." ucap Gun-chan lirih.

Omi menaikkan sebelah alisnya bertanya.

"Untuk tak bisa mengingatmu. Untuk masa lalu yang tak bisa ku kembalikan padamu. Untuk luka yang ku sebabkan. Untuk rasa kehilangan, kesepian, bahkan kebencian yang harus kau tanggung bertahun-tahun. Maafkan aku, Omi." kata Gun-chan.

FULL MOONWhere stories live. Discover now