BAB 9.2 [HEART OF GOLD]

103 16 9
                                    

"Omiii~~~"

"Omi..."

"Omi!!"

Omi membuka kedua matanya, merasa ketenangannya telah direnggut paksa dari bawah sadarnya.

"Omi!!!"

Lagi. Panggilan penuh kesal itu berdengung di pendengarannya. Omi berkedip. Sekali. Dua kali. Tapi tak menemukan siapapun disana.

"Kau jahat sekali!! Sudah berapa kali kukatakan. Kabari aku saat kau pergi. Apakah permintaan sederhana itu sulit kau pahami?" ujar suara itu.

"Huh, kau membuatku terpaksa menghabiskan tenaga untuk mencarimu. Sungguh menyebalkan!" suara itu kembali merutuk.

"Omi!! Jangan mengabaikan aku, sialan." katanya.

"Oke oke. Baik. Mungkin kehadiranku tak pernah penting untukmu. Tapi setidaknya anggap aku ada."

Bagaimana aku bisa menganggapmu ada jika aku bahkan tak bisa melihatmu? --batin Omi.

"Sikapmu sama sekali tidak berubah. Meski kita telah terikat takdir pada satu sama lain. Tapi sepertinya hanya aku yang mengira bahwa kau milikku, tapi aku tak pernah kau miliki."

Bagaimana aku bisa memilikimu jika aku bahkan tak bisa menyentuh keberadaanmu? --balas Omi lagi dalam hati.

"Nanti. Suatu hari nanti. Saat kau telah kehilangan aku. Kau akan menyesal. Kita lihat saja. Kau akan menangis. Kau akan memohon. Kau akan bersujud padaku agar tak meninggalkanmu lagi. Hahahaha."

Kehilanganmu? Bukankah aku sendirian disini? Bagaimana bisa aku merasa kehilanganmu jika aku seorang diri disini dari awal? --kata Omi semakin tidak mengerti.

"Omi. Jika kau harus memilih. Aku atau dunia ini. Mana yang akan kau selamatkan terlebih dahulu?" tanya suara itu.

Kau dan dunia ini? Tentu saja dunia ini. Bukankah kau juga hidup didunia ini? Jika aku bisa menyelamatkan dunia ini, bukankah itu berarti aku juga menyelamatkanmu? --jawab Omi.

Dan setelah jawaban itu tertanam dihati Omi, sebuah sosok terwujud dihadapannya.

Wujudnya tidak lebih tinggi daripadanya. Kulitnya putih bersih dengan wajah polos seolah tanpa dosa. Senyum lembut tersungging dibibirnya, membawa hangat yang menyebar di segala penjuru hatinya. Tatapan matanya bersinar penuh optimis, seakan ia telah melalui semua kesulitan hidup dan sampai dititik ini. Semerbak aroma menguar dari tubuhnya, menyelimuti tubuh Omi dengan kerinduan.

"Siapa?" tanya Omi, namun sosok itu tak menjawabnya.

"Katakan padaku. Siapa kau sebenarnya?" tanya Omi. Ia kini berusaha mendekati sosok itu, namun satu langkah Omi, dibalas oleh satu langkah mundur darinya.

"Mendekatlah. Jangan menjauhiku. Mendekatlah. Jangan meninggalkanku." kata Omi lagi.

Sosok itu lalu terdiam ditempatnya. Sebelah tangannya terangkat. Seolah menunjuk pada Omi, kemudian menunjuk pada dirinya sendiri.

Omi juga terdiam ditempatnya. Tak lagi berusaha mengikis jarak diantara mereka. Lalu dilihatnya bibir yang sedetik lalu tersenyum padanya, kini bergerak-gerak mengucap sesuatu namun tak ada suara yang dapat didengar Omi.

"Apa? Kau bilang apa?" kata Omi bingung.

Sosok itu lalu berbalik, berjalan menjauh dan perlahan wujudnya menghilang seperti debu yang tertiup angin.

"Hei!! T-tunggu..." sergah Omi.

Terlambat.

"Kau belum memberitahu siapa dirimu..." bisik Omi parau. Tak ada yang tersisa dihadapannya. Sosok itu, senyum itu, aroma itu.

FULL MOONDonde viven las historias. Descúbrelo ahora