BAB 9.1 [HEART OF GOLD]

131 15 10
                                    

Gun-chan melangkah keluar dari balik segel teleportasi yang memindahkannya dari dimensi masa lalu ke dimensi saat ini. Ia tiba tepat ditempat yang ia inginkan. Base camp para peneliti proyek Lycaon.

Samar-samar Gun-chan bisa mendengar dengung percakapan dari dalam rumah-rumah kayu yang dilewatinya. Ada suara tawa renyah yang dikenalnya disana. Ada pula suara debat tak penting yang menjadi lelucon konyol pada akhirnya.

Ya. Ini adalah kehidupan normal Gun-chan sebagai manusia. Disini, ia bebas berekspresi, bertindak dan menyuarakan keinginannya tanpa perlu memikirkan hal rumit, rantai status "raja Arkadia" yang mengikat langkahnya.

Ditempat ini, ia adalah seorang Takanori Iwata, seorang mahasiswa semester akhir yang melakukan penelitian terhadap situs peninggalan kerajaan Lycaon. Ia memiliki teman-teman yang memandang pribadinya setara seperti manusia pada umumnya, tanpa harus terhakimi oleh pangkat, derajat dan tingkat kekuatan serta kekuasaan.

Ditempat ini, ia bisa melupakan tentang Garoul Arkadia, sang raja Arkadia ke-99, yang bertanggung jawab atas keselamatan dan kehancuran peradaban mereka. Itulah yang seharusnya terjadi. Namun pada kenyataannya, sejauh apapun jarak yang ditempuhnya, sejauh apapun ia melarikan diri, identitas diri tak pernah pergi meninggalkannya.

Jauh dilubuk hatinya, pilihan menjadi manusia adalah mimpi yang selalu ia dambakan. Kebahagiaan yang ia cari dalam hidupnya. Melepaskan kekuatan yang ia miliki beserta kekuasaan yang ia punyai. Ya, seperti ini lah kira-kira otaknya mendoktrin cara berfikir Gun-chan.

Yang Gun-chan tak tahu adalah lubang menganga yang mendiami lubuk hatinya. Bagai sebuah black hole yang mengikis kebahagiannya secuil demi secuil hingga lenyap. Yang tersisa kemudian hanya kosong dan kesepian yang membeku.

Harga yang harus ia bayar hanya untuk kebebasannya menjadi seorang manusia. Merelakan seseorang yang sangat ia cintai, menghancurkan dimensi dimana kerajaan yang ia lindungi dengan seluruh jiwa raganya berdiri megah dengan seluruh harapan bangsa dan rakyat Lycaon tersandang dipundaknya.

Bagaimana mungkin Gun-chan akan bisa melakukan itu? Bagaimana mungkin Gun-chan bisa melewati rasa bersalah yang akan menghantui disepanjang sisa hidupnya sebagai manusia? Tidak, Gun-chan tidak akan pernah bisa mengorbankan semua itu hanya demi sebuah keegoisan yang tidak pada tempatnya. Jika ia seperti itu, bukankah ia lebih buruk dari orang-orang yang telah ia bunuh?

Bahkan jika sekali lagi Gun-chan harus mengorbankan dirinya demi melindungi 2 dunia beda dimensi. Asalkan orang-orang yang ia sayangi selamat, memiliki kehidupan damai dan bahagia, itu sepadan dengan pengorbanannya. Ya, benar. Seperti itulah takdir sang penguasa tanah leluhur Lycaon sebenarnya.

Langkah Gun-chan semakin mantap menelusuri area itu hingga menemukan sebuah rumah paling ujung. Cahaya terang terlihat menyinari rumah itu. Sebuah bayang yang terpantul dari jendela bertirai terlihat sibuk kesana kemari seolah hidup dengan dunianya sendiri.

Tok tok tok

Ketukan pada daun pintu itu ringan. Gun-chan menunggu beberapa saat sebelum akhirnya daun pintu terbuka dan memperlihatkan seraut wajah lelah dibalik kacamata yang bertengger longgar di batang hidungnya.

"Tu-tuanku Gun-chan?!" sapa Elly surprise akan seseorang yang mengetuk pintunya dihari selarut ini.

"Aku kembali. Bagaimana kabarmu?" tersenyum, Gun-chan lalu mendekat sembari memeluk singkat orang kepercayaan Omi.

Setelah pelukan itu terurai, Elly celingak-celinguk sebentar diambang pintu untuk memastikan sesuatu sebelum menutup pintu dan menguncinya. Gun-chan masuk dan melihat-lihat ruangan yang tak lebih besar dari ruang tidurnya di istana Arkadia sebelum kemudian obsidian Gun-chan jatuh pada tumpukan berkas yang memenuhi meja bersama bekas-bekas gelas kopi yang lupa untuk dibuang.

FULL MOONWhere stories live. Discover now