RPL 1. Awal kisahnya

832 44 13
                                    

Peluit pertanda pertandingan telah berakhir membuat sorak penonton di bangku stadion bergemuruh. Tanda kalau mereka datang benar-benar untuk mendukung tim yang mewakili sekolah. Ada beberapa siswi dengan kencang meneriaki namanya. Bahkan kibar sebuah nomor punggung melambai ke udara.

"TARA!" Semua orang bersorak bangga padanya, nama yang selalu muncul di setiap musim. Terkahir kali lawannya adalah sekolah elit yang begitu populer. SMA ANTARIKSA. Sekolah dengan basis teknologi yang cukup bagus diantara sekolah manapun.

"Tar, dibabak kedua lo harus lebih fokus sama bola. Ingat Tar, kita butuh dua angka buat kalahin mereka."

Cowok itu menoleh, ia tak tuli, hanya saja ia lelah. Bahkan ketika ditanya Tara hanya mengibaskan sebelah tangannya untuk mengalihkan berbagai pertanyaan yang membuatnya jengkel.

"Tar, lo masih oke buat babak kedua ini, kan?" Sekali lagi, Tara bergeming. Ia menatap tajam ke arah temannya. Kemudian ia pun berdiri meski menahan sakit.

"Pertandingan ini belum selesai, kalau pun gue bakal tumbang di lapangan, setidaknya kita pulang bawa kemenangan!"

Tiga bulan setelahnya Tara benar-benar dilarang untuk melakukan Aktivitas berat, bahkan untuk berjalan saja dia harus memakai alat bantu.

Dunianya telah berbeda. Impiannya pupus saat tahu kalau dirinya harus tak akan mampu bermain lagi. Tara masih sangat ingat bagaimana Dokter Ali menjelaskan cidera yang di alami cukup serius.

"Kak Tara, buruan keluar! Sarapan bareng nggak?" Itu Athala. Adik laki-laki yang memiliki sifat bertolak belakang dengannya.

"Kak Tara! Buruan!"

Sekali lagi, Tara benci suara Athala. Sejak fajar tiba, Athala sudah membuat ramai seisi rumah. Untung saja ayah mereka sedang pergi ke luar kota. Sejauh ini, yang Tara ingat sedikit dari kejadian saat itu adalah, dirinya yang terbaring di rumah sakit dengan gips yang menempel manis di kakinya.

Tara tidak bisa mengingatnya dengan jelas bagaimana dia terjatuh dan kabut hitam justru yang menyambutnya lebih dulu. Meski samar suara teman-teman setimnya mencoba untuk menyadarkan Tara, tetap saja Tara tak mampu membuka matanya. Padahal di menit pertengahan babak kedua hampir saja mencetak angka.

"Gue harus latihan lagi, gimanapun caranya!" gumam Tara. Cowok itu berdiri cukup lama di depan cermin meja riasnya. Usai merapikan seragam sekolahnya, Tara akan berdiri lama hanya untuk meluapkan kekesalan atas apa yang telah terjadi beberapa bulan lalu.

+62814553xxxxx
Gue tunggu di lapangan futsal sepulang sekolah nanti.

Pesan singkat yang sempat Tara terima tadi malam sebelum tidur. Ia pun kembali membukanya hanya karena rasa penasaran dengan nomor asing yang tertera di layar ponselnya.

Ia hanya bertanya-tanya, bagaimana bisa nomornya tersebar luas, padahal ia sadar kalau nomornya hanya dibagi ke beberapa orang yang memang ia kenal saja. Bahkan sangat jarang untum Tara bermain ponsel, kalau pun harus, mungkin hanya karena ada tugas sekolah, sisanya akan ia habiskan untuk bermain PS bersama Athala, atau lebih tepatnya Tara akan memilih untuk tidur seharian, apalagi jika hari libur.

👟👟

Kebanyakan dari mereka selalu merasa kalau apa yang dilakukan Tara sangatlah gila. Bahkan beberapa kali cowok itu memaksakan diri untuk ikut berlatih sepak bola bersama yang lainnya. Padahal semua orang tahu, kondisi Tara saat ini sangat tidak memungkinkan untuk ikut serta dalam kegiatan apa pun yang berkaitan dengan olahraga berat.

Seperti yang dikatakan oleh Athala saat di meja makan. Popi tidak ingin mendengar apa-apa lagi mengenai putranya. Bahkan Athala ikut adil ketika sang Mama mulai menasihatinya.

Awalnya memang biasa saja, seolah memang untuk mengingatkan kalau hidup itu tidak harus memiliki apa yang diinginkan. Ada kalanya kita merelakan apa yang kita inginkan. Sampai satu kalimat yang Popi katanya berhasil membuat Tara bungkam hingga detik di mana ia harus kembali sadar dari lamunannya.

"Kak, ingat kata Mama, kan? lo nggak boleh jauh-jauh dari pandangan gue," ucap Athala. Anak laki-laki yang baru saja menyandang status sebagai siswa baru di sekolahnya.

"Gue ingat. Bawel banget."

Tajam tatap Tara membuat Athala mengangguk. Anak itu tidak bisa berkata apa-apa jika Kakaknya mulai bicara dengan nada yang begitu ketus.

"Kamu harus pulih dulu, Tar, musim pertandingan masih lama. Kalau nekat seperti dua minggu lalu, sudah dipastikan kamu tidak bisa ikut pertandingan di musim selanjutnya. Walau lawan kalian nanti bukan dari SMA ANTARIKSA. setidaknya kondisi tubuh harus stabil. Saya harap kamu bisa mengerti perkataan saya barusan." Penjelasan Pak Oki tak ada yang salah. Hanya saja berdiam terlalu lama sudah membuat Tara bosan. Bahkan ketika ia baru beberapa minggu setelah pulang dari rumah sakit.

Menurut dokter spesialis tulang, kondisi kaki sebelah kanan Tara mendapat cedera cukup serius, akibat benturan keras ketika bermain cukup mengkhawatirkan. Jika Tara memaksakan kerja otot pada kakinya, yang terjadi justru semakin memburuk.

"Udah sana, masuk gih. Nanti istirahat mau gue beliin apa? biar lo nggak capek jalan buat ke kantin," kata Athala setelah sekian lama berjalan di sebelah Tara, akhirnya mereka pun sampai di depan kelas Tara.

Tak ada yang aneh, hanya tatap tanpa kata, itulah yang selalu Tara berikan pada Athala. Hingga dumal kesal itu selalu muncul usai Tara menghilang di balik pintu kelas. Cowok itu sama sekali tidak mengatakan apa pun, walau ucapan terima kasih.

Padahal kisah mereka baru dimulai. Tapi tembok besar sudah menantinya di depan sana.

"Dengar Mama, Tar. Cedera kamu masih belum pulih. Ini udah yang kedua kalinya kamu pulang dalam keadaan kesakitan. Mama nggak izinin kamu ikut pertandingan apa pun."

Akhirnya Tara mengerti satu hal dari arah yang berbeda. Sekeras apa pun mencoba, pasti akan ada namanya hambatan untuk meraih impian. Tara memang ambisi, tak peduli ia akan terluka parah nantinya. Karena sebagian hidupnya adalah ingin menjadi seorang pemimpin pertandingan.

👟👟

"Gantara, apa kamu sudah mengambil nilai ulangan kemarin?" Tara mendongak saat guru cantik dengan nametag Yunia Andriani, itu menghampirinya dan menyodorkan selembar kertas dengan coretan angka menggunakan tinta merah.

"Jam istirahat nanti temui saya di ruang guru."

Kali ini Tara hanya mampu menatap sedih pada angka yang tertera di hadapannya. Jangankan mendapat nilai sempurna. Untuk mencapai nilai KKM saja, rasanya sudah ingin pingsan. Terlebih Tara sangat malas jika bertemu dengan mata pelajaran Ekonomi.

"50 nilai yang bagus Tar, tapi gue heran, lo pinter padahal, kenapa mata pelajaran Ibu Cantik nggak pernah namanya naik se-angka gitu?" Sindiran yang diberikan oleh Rama padanya.

"Kayak nilai lo sempurna aja."

"Ya elah. Gue ngomong baik-baik kali, sewot mulu jawaban lo. Masih kesel kalah sama tetangga?"

"Diem!" Detik itu tawa Rama pupus. Ia lupa kalau teman sebangkunya adalah jelmaan harimau yang sewaktu-waktu akan mengamuk jika diusik. Sosok Tara begitu melekat, siapa pun yang mengenalkan akan merasa aman, karena Tara juga memilik jabatan cukup penting di sekolah sebagai wakil ketua MPK.

👟👟👟

Yuhuuu, sampai sini dulu ya jangan lupa tinggalkan jejak 🤗🤗🤗 terima kasih

Yuhuuu, sampai sini dulu ya jangan lupa tinggalkan jejak 🤗🤗🤗 terima kasih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish 26 Juli 2021

Replay ✅Where stories live. Discover now