Rpl G. 6. Keputusan...

194 18 0
                                    

"Maksud lo apa?!" Tinggi suara Yusron membuat Sinta dan yang lainnya tersentak. Lelaki itu tampak begitu marah saat Tara mengutarakan pendapatnya. Yusron Kally Pamungkas. Nama yang sempurna untuk seorang yang begitu ambisius seperti dirinya. Sejak satu jam lalu, Yusron terus membantah keputusan yang telah dibuat. Bukan lagi perdebatan yang akan menentukan siapa pemenangnya. Tapi bagaimana kelanjutan rapat yang nyaris dibubarkan.

"Gue cuma ngomong sesuai fakta. Kalau lo tersinggung, bagus dong. Berarti lo sadar."

"Shit! Lo wakil nggak berguna. Percuma lo ada di rapat ini, nggak ada juga yang mau dengar omongan lo!"

"Bagus lah. Jadi gue nggak perlu repot-repot mikir, kan? Lagian ada Harun, ketua OSIS kebanggaan sekolah. Biar dia aja yang urus. Sori semuanya, gue balik duluan, kasian Nathala, udah nunggu."

Harusnya Tara tidak kesal, kan? Harusnya Tara masih bisa mengontrol emosinya, kan? Tapi kenapa rasanya mustahil untuk kembali tenang di saat semua orang menyudutkannya.  Faisal yang terlihat pasrah hanya bisa menunduk. Sedangkan Sinta, gadis itu sibuk dengan ponselnya. Berharap Yuda bisa membalas satu pesan yang sejak tadi sudah Sinta kirimkan.

"Tar, tunggu, kita bisa obrolin bareng. Nggak gini, sekarang Yuda nggak ada,  OSIS nggak bisa kasih keputusan gitu aja, kalau nggak ada keputusan dari MPK."

"Sori Run. Gue nggak ada hak. Lo bisa tanya Yuda kalau dia udah bisa dihubungi."

Geram yang ditahan oleh Rama membuat semuanya terdiam saat cowok itu bangkit dan berdiri di hadapan Tara. Tatap mata Rama membuat Tara memalingkan pandangnya. Ia tahu bagaimana Rama marah jika cowok itu tidak setuju dengan apa yang Tara lakukan.

"Lo bisa pergi kalau urusan kita udah selesai. Lo nggak bakal bisa raih impian lo, kalau lo nggak bisa kontrol emosi. Lo mau kalah sama Yusron? Dia nggak ada apa-apanya, Tar." pelan, namun mampu menenangkan amarah yang hampir saja meluap di hadapan semua orang.

"Dengar gue, Thala udah balik, gue yang suruh. Sekarang tugas lo selesaikan rapat ini dan buat keputusan yang buat orang lain bangga kalau lo bisa melakukannya dengan baik. Ingat, nama baik lo jadi taruhannya kalau lo pergi dengan cara kayak gini. Ingat Tar, Lo dipilih jadi wakil majelis perwakilan kelas, bukan sekadar lo ganteng, kagak! Lo terpilih, karena lo mampu bukan cuma punya prestasi yang bagus, tapi orang ngelihat lo punya ambisi dan keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan. Apa Lo lupa obrolan kita waktu di lapangan?"

Sejenak Tara terdiam, setelah Rama mengakhiri ucapannya dan kembali duduk di tempatnya. Tara yang sudah berdiri cukup lama pun kembali bergabung usai mendengarkan semua yang Rama katakan.

"Rama bener."gumamnya.

Ada ragu saat rapat kembali berjalan, hingga waktu tak terasa berlalu bergitu cepat. Langit sore saat itu berubah menghitam dengan jingga yang berakhir sempurna di atasnya.

Tepuk di bahu Tara membuat cowok itu tersentak, kemudian tersenyum getir. Tara hanya takut, bahkan saat membahas perlombaan yang akan diajukkan saja Tara khawatir. 

"Gue harus ikut, Ram. Gue nggak mau tim sekolah kita gagal masuk final. Kali ini nggak cuma SMA ANTARIKSA, ada GEMILANG, sama Dasa Raksa. Yang kita tahu kualitas pemain dan orang-orangnya kayak gimana. Sedangkan kita? Kita masih di bawah mereka semua."

"Tar! Lo pikirin kondisi lo sekarang, lo nggak mau  hapus mimpi besar lo cuma karena ini, kan? Ayolah, Tar. Serahin semuanya sama kita, tugas po sekarang ngawasin kerja OSIS dan panita yang lain. Mereka nggak cuma butuh diawasin, tapi mereka juga butuh lo, Tar. Ingat seleksi masuk ke Jurnas. Itu mimpi lo. Pulihin keadaan lo dulu, baru lo bisa melakukan apa pun yang lo mau."

Hela napas Tara membuat Rama menyerah. Temannya sangat keras kepala. Apa pun yang ingin dia lakukan pasti akan dilakukannya, tak peduli risiko yang akan di hadapinya. Bahkan, kali ini Tara benar-benar sangat menyebalkan. Terlebih saat Rama meminta Athala pulang lebih dulu. Tara sempat memaki dirinya karena telah memutuskan hal yang Tara tidak tahu.

Banyak hal yang Rama lalui bersama Tara selama mereka berteman, Tara bukan orang yang mudah dekat dengan siapa pun. Terlebih ketika mereka mengikuti seleksi masuk tim inti di sekolahnya.

Sejauh yang Rama tahu dari beberapa sekolah hanya ada sekitar lima atau bahkan lebih yang memiliki tim sepakbola  yang mewakili nama sekolahnya, salah satunya adalah ANTARIKSA.

👟👟

Malam terasa begitu tenang dengan udara yang tidak begitu dingin. Tidak seperti kemarin. Malam ini, Tata berniat memperbaiki bagian yang lepas meski ia sudah memastikan kalau hasil karyanya sudah sempurna. Tapi ia justru mengubah beberapa titik yang salah, berharap esok tidak lagi dimarahi oleh Bu Ayunda, karena sempat  tertidur di kelas.

"Lo pulangnya malam banget, Kak?" Tara menoleh, usai mengeringkan rambut dengan handuk kecil yang kini dilemparnya begitu asal.

"Yusron."

"Bang Yusron, kalau diladeni bisa besok kelarnya. Terus gimana? Hasilnya?" Kini Athala memilih duduk di sebelah Tara, setelah ia memberikan susu cokelat yang Tara minta ketika ia baru saja sampai  di rumah.

"Masih besok. Mama ke mana?" Athala mengusap wajahnya lelah. Ia lupa kalau Tara memiliki dua kepribadian ganda yang selalu menyebalkan kalau sudah di rumah. Meminta penjelasan darinya hanya akan sia-sia dan akan menjadi angin lalu dan tak akan mendapatkan apa-apa.

"Mama di kamar, tadi mau nunggu lo pulang dulu, cuma Mama tadi kelihatan kurang sehat, jadi gue suruh istirahat deh, kenapa?"

Tara menggeleng. Kemudian ia pun mengepalkan kedua tangannya di atas paha, geram dan sesak bila kembali mengingat apa yang Papanya ucapkan pagi tadi.

"Lo nggak apa-apa?"

"Keluar sana. Gue mau istirahat."

"Tapi Lo belum habisin susunya. Lo kenapa sih?"

Tidak, kali ini Athala tidak melihat Tara yang biasanya. Ada sebuah tekanan yang coba Tara sembunyikan darinya. Tapi apa? Athala pun memutuskan untuk pergi dan mengambil gelas berisi susu yang tinggal setengah di atas nakas yang diletakan oleh Tara, beberapa menit lalu.

"Jangan bilang Mama kalau gue latihan kemarin." Athala tersentak saat Tara kembali bersuara ketika dirinya akan menginjakkan kaki melewati pintu kamar kakaknya.

Athala pun menoleh di saat Tara menatapnya dengan penuh harap, tidak seperti biasanya.

"Gue nggak janji."

Setelahnya Athala pun benar-benar menghilang dari pandangan Tara bersama pintu yang kembali tertutup rapat dan meredupkan semuanya.

Tara tahu, tapi Tara tak yakin. Itulah yang Athala rasakan ketika tatap mata itu memberitahu Athala.

👟👟👟

Hallo, kembali lagi dengan Gantara.
Ada yang rindu dengan mereka?
Segini dulu, ya. Jangan lupa tinggalkan jejak 🤗🤗 terima kasih telah berkunjung.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 10

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 10.8. 2021

Replay ✅Where stories live. Discover now