Rpl G 17. Tentang Kilas Balik

140 15 0
                                    


Sore itu langit sedang menangis, hingga lampu-lampu menyala dan bersuara begitu keras di atas sana. Awan-awan gelap menggumpal menjadi satu. Perlahan rintik tangis langit mulai berjatuhan ke bumi dan akhirnya berubah deras.

Hujan. Kata yang selalu Tara sampaikan setiap kali mendung datang. Yang setiap kali, angin meniup dedaunan kering lalu menjadikan udara lebih dingin.

"Aku nggak mau Pa! Papa nggak bisa larang aku  kayak gini, ini hobiku, hidupku, dan Papa nggak bisa pisahin kehidupan itu dari dunianya."

Butir keringat berhasil menembus pertahanannya, hela napas lelah  tidak membuatnya berhenti begitu saja. Tara pun melanjutkan kalimat yang benar-benar membuat Eza murka setelahnya. Kalimat yang berlanjut hingga serpihan beling berakhir menembus kulitnya.

"Papa, udah! Kenapa Papa selalu kayak gini sama Tara? Kenapa?!"

"Karena dia anak yang nggak bisa diandalkan. Kamu tahu, harusnya dia nggak berdiri di lapangan sana, panas-panasan dan itu buang-buang waktu, nggak berguna!"

Eza Yuanda. Pria dengan segelintir harta, dengan ego yang tidak bisa dibatahkan. Pria itu benar-benar murka beberapa barang yang ada di sekitarnya dibuat  berjatuhan hingga banyak beberapa benda pecah termasuk gelas dan piring beling.

"Lihat dia Ma, lihat! Dia berani menatapku dengan matanya yang tajam. Apa begini caranya menghormati orang yang lebih tua?!" Kata Eza. Pria itu bicara seolah Tara telah membuat kesalahan yang sangat besar, bahkan ia lupa kalau dirinya telah menyakiti Tara walau cowok itu tidak mengatakan apa pun.

"Jawab Tara! Apa begini caranya? Papa menyekolahkan kamu, biar kamu bener! Bukan begini, sekolah kamu, hidup kamu, Papa yang atur, jadi ikuti aturan Papa, mengerti itu, Tara!"

"Tapi Papa lupa kewajiban Papa di sini. Papa belum memenuhi itu, jadi Papa nggak pantas buat dihormati."

Apa yang Tara katakan tidaklah salah, tapi situasinya yang tidak tepat. Terlebih bercak merah telah mengotori lantai tanpa sepengetahuan siapapun di sana.

Tara terluka, tapi tidak ada yang memahami posisinya. Tara tidak suka dipaksa, tapi situasi selalu memaksanya untuk sadar, kalau Eza benci penolakan dalam bentuk apa pun.

👟👟

Sorenya telah hancur berkeping-keping. Bahkan sisanya saja tidak terlihat. Kali ini Tara memutuskan untuk tidak melihat siapa-siapa setelah kejadian sore yang begitu menekan banyak hal termasuk keinginan.

"Kak, apel hijau favorit Lo?"

"Gue bilang keluar! Pergi jauh-jauh. Kalau bisa jangan balik lagi."

"Ini dari Mama, Lo belum makan malam."

"Kalau gue suruh pergi, ya, pergi!"

"Tapi... Lo, belum makan."

Tara tidak tuli, ia lelah. Itu saja, tapi ia bosan jika dipaksa. Tara bukan Athala. Bahkan ia tak tahu kapan adiknya pulang dari rumah temannya.

"PERGI!" 

Harusnya Tara tidak melampiaskan amarahnya pada Athala. Karena anak itu tak tahu apa-apa tentang kejadian sore tadi. Tapi, siapa yang tidak tahu Athala? Anak itu jauh lebih keras kepala kalau sudah urusan memaksa.

"Lo bisa nyuruh gue pergi kapan aja, tapi tolong hargai apa yang udah di siapin Mama buat Lo. Mama belum tidur cuma buat mikirin Lo udah makan atau belum. Seenggaknya Lo  tahu, kalau sikap Lo sekarang udah buat khawatir semua orang, termasuk gue."

Tara diam sejenak, ia tidak yakin untuk mengatakan apa yang dirasakannya. Tapi ia masih bisa melihat dari ekor matanya kalau Athala masih di sana, berdiri dengan sepiring buah apel yang sudah diiris.

Replay ✅Where stories live. Discover now