Rpl G 20. Tanda Waktu berakhir

252 13 0
                                    

Sedikit dari part ini, sambil denger lagu di mulmed yuk, siapa tahu bisa mewakili 🤭

👟👟👟


Peluit wasit benar-benar berbunyi, nyaring sekali. Mungkin semua orang tidak percaya tentang waktu yang pernah terlewati, atau mungkin memang tidak sadar kalau sebenarnya waktu tidak akan pernah bisa kembali seperti apa yang diharapkan.

Seseorang akan menanyakan banyak hal tentang arti di balik kata, tapi semua orang belum mengerti siapa sosok di balik kisah yang sebenarnya.

Mereka hanya tahu sosok Tara, mereka hanya paham siapa Athala, tapi mereka belum mengenal siapa Eza Yuanda. Pria dengan julukan buruk itu selalu mendapat caci maki semasa remajanya. Pria yang sama sekali tidak tahu apa itu pertemanan.

Dalam hidupnya, Eza hanya memahami satu hal, dia berjanji untuk menjadi orang yang lebih kuat dari siapa pun. Dia berjanji akan berusaha lebih giat lagi untuk mendapatkan apa pun. Namun, alam seolah tidak memihak padanya untuk waktu yang lama.

Eza pernah jatuh dalam lingkaran yang salah, ia pernah percaya pada seseorang, dan ia terluka untuk pertama kalinya. Eza selalu mengatakan pada dirinya untuk tidak menceritakan semua lukanya pada siapa pun, Eza berjanji, memang. Dan sekali lagi, Eza telah melupakan janji itu. Janji yang pernah membuatnya terkurung dalam dimensi waktu yang sangat jauh, bahkan untuk menjangkau apa yang diinginkannya, Eza harus merangkak. Salam perpisahan untuknya hanya kepalsuan, karena baginya kehilangan adalah yang paling berat untuk meyakinkan diri agar bisa bangkit kembali.

"Pa, waktunya pemakaman."

"Jangan gila, dia belum pergi, lihatlah dia masih duduk di sana, memainkan piano itu."

"Pa, lupakan, karena yang sebenarnya kita nggak akan pernah ketemu sama waktu indah lagi."

Tetes demi tetes telah berakhir, itulah yang harusnya Eza lakukan. Namun, sekali lagi, Eza patah oleh penyesalan. Dari sekian banyak kata, Eza hanya mengingat bagaimana kedua mata yang berusaha terbuka hanya untuk mengatakan satu kata indah.

"Jangan paksa keinginan seseorang kalau dia nggak mau, aku yakin kalau Papa bukan orang jahat." Suaranya yang begitu terbata pelan dan begitu lirih untuk menahan sakit.

Memaksa?

Itulah yang Eza ingat, sejauh apa pun Eza melangkah, kata itu tak pernah pergi dalam pikirannya. Sampai detik telah mengambil bahagia yang begitu berharga, seperti kesempatan.

"Papa, papa nggak bisa di sini sendirian, kita harus pergi."

Pria itu pun menoleh, kemudian menatapnya begitu nanar, pandangannya begitu terluka, kepal tangannya seolah mengatakan kalau dirinya benar-benar menyesal.

"Aku, nggak apa-apa. Kita jalanin bareng-bareng."

"Kamu nggak marah sama Papa?"

Eza bisa melihat senyum tipis yang sangat jarang sekali. Cowok itu pun mengusap lembut pipinya dengan penuh sayang." Kalau aku ada diwaktu yang sama saat itu, mungkin yang ada di hadapan Papa sekarang, bukan aku. Aku tahu Papa banyak berharap, sama mereka, tapi Papa nggak bisa terus-terusan sedih, kepergian bukan  sesuatu yang harus ditangisi selamanya."

"Makasih, Tara."

👟👟

Ikutlah memejam sebentar, lalu ingat bagian mana yang telah terlewatkan selama sosoknya masih ada. Selama tawanya berhasil menghilangkan semua beban disaat orang-orang menunjuk dirinya sebagai orang yang paling bersalah.

"Bukan salah Kak Tara! Kak Tara nggak pernah main tangan sama aku, Pa."

"Bohong!"

"Aku nggak pernah berbohong. Karena aku selalu percaya kalau Kak Tara itu baik, dia yang buat aku jadi manusia. Dia yang buat aku percaya kalau impian itu ada. Papa nggak bisa maksa aku buat apa yang aku nggak suka." 

Replay ✅Where stories live. Discover now