Rpl G 21. Papan Penutup

247 14 0
                                    

"Sakit, Pa."

Lirih suara Athala saat itu masih terngiang. Terasa begitu sesak untuk mengingat bagaimana anak itu meminta tolong. Eza hanya bisa menggeleng, berkali-kali mengusap wajah putranya agar Athala tidak menutup kedua matanya.

"Tahan, Thal."

"Sakit banget, Pa. Mama di sana, Papa harus tolong Mama."

Sekali lagi, Eza hanya mampu menggeleng tanpa mengatakan apa pun selain menguatkan dirinya untuk tidak terbawa suasana yang terasa jauh lebih mencekik dari biasanya.

Eza kalut dalam ego dan ambisinya sendiri, pria itu rela membuang rasa bahagia hanya karena keinginan. Ia lupa kalau di sana ada nyawa yang harus diselamatkan.  Namun, api membara dalam dirinya jauh lebih cepat menyambar dari pada berpikir untuk memberi air agar bisa lebih dingin.

Ia benar-benar lupa kalau saat itu ada Popi yang yang terbaring di tas ranjang. Tubuhnya tak lagi bergerak, napasnya tak lagi bisa dirasakan. Popi pergi dengan semua rasa damai yang dulu pernah menjadi sakit.

Bertahun-tahun Popi memendam, tak seorang pun yang tahu kapan ia menangis dan kapan ia tersenyum. Yang Tara tahu, Mama adalah wanita cantik yang memiliki tiga orang penguat di sekelilingnya.

Sejak kecil, Tara hanya tahu kalau Mama baik-baik saja, walau sebenarnya Mama tidak pernah menunjukkan setetes cairan bening yang keluar dari matanya. Baginya, Popi sakan tetap menjadi wanita yang selalu diperebutkan jika Papa dan Athala ada di rumah.

Katanya, kematian tidak pernah memilih siapa yang akan tutup lebih dulu. Katanya, kehidupan selalu berhadapan dengan waktu. Setelah waktu berakhir, maka yang tertera hanya sebuah papan nama. Kain putih sebagai pembungkus tubuh yang sesungguhnya. Ruang yang tidak luas sebagai tempat berbareng-nya. Tara tahu akan hal itu, karena ia selalu ingat apa yang Popi katakan setiap  matahari berganti bulan. Malam tiba dan waktunya bercerita, itulah yang Tara rindukan.

Bahkan, saat Popi melahirkan Athala, Tata selalu bertanya banyak hal, Tara kecil begitu cerewet. Bertanya ini dan itu, menunjuk apa yang dilihatnya dan berakhir berbaring di atas tempat tidur tepat di sebelah Athala yang kala itu masih sangat kecil.

"Tara, kalau sudah besar nanti, nggak boleh berantem sama adiknya. Ini adiknya Tara, namanya Dede Thala," ucap wanita itu ketika sedang memberi asi.

Usia Tara memang masih sangat muda, masih terbilang mustahil untuk mengerti apa yang orang dewasa katakan. Tapi, Popi tahu, putranya itu pandai, ia yakin kalau Tara bisa memahami setiap kasih yang diberikannya. Terbukti hingga usia mereka menginjak remaja, Tara benar-benar tumbuh menjadi sosok yang kuat juga berani.

"Lo apain Athala?!"

"Adek Lo itu, nggak pantes masuk sekolah ini."

"Kayak sekolah punya Lo aja! Jangan lupa, tunggakan dilunasi, biar nggak malu-maluin orang tua, uangnya dipakai buat main PS tiap Minggu."

Salah satu hal yang Tara ingat, ketika ia hampir berkelahi hanya karena membela Athala. Hal yang pernah ia ceritakan pada Popi sebelum waktu mengubah pribadinya menjadi sosok yang tak jauh berbeda dengan Eza. Ia memilih jalan yang sangat dibenci oleh Eza, tak peduli berapa banyak luka yang pernah dituai ketika Eza mengangkat tangannya ke udara hanya untuk memberi jejak di pipinya. Sudah berapa banyak serpihan kaca yang pernah menancap di telapak kakinya, ia juga tidak peduli. Yang Tara ingin, Athala tidak boleh berjalan  jika itu bukan pilihannya.

Hidup memang keras, tak tahu harus memulainya dari bagian yang mana. Yang Tara ingat, kehidupan akan terus berjalan sesuai waktu yang nantinya  pasti akan berakhir.

Ada banyak tanya, meski sebenarnya lukanya hanya satu.

"Gue takut, Ram."

Kata dalam diam yang coba Tara sembunyikan dari banyak orang. Kata yang selalu menjadi penghambat, jika langkahnya mula ragu. Kata yang coba diusirnya berkali-kali, namun selalu gagal.

Replay ✅Where stories live. Discover now