Rpl G 10. Rumah?

222 20 0
                                    


Für Elise Bagatelle No. 25 in A minor, kini sedang melantun indah di ruangan sepi seperti kamar rawat Tara. Cowok itu baru saja siuman setelah berjam-jam memejamkan matanya. Di sebelahnya sudah ada Athala dan Popi  yang telah menanti dirinya bangun karena  terlalu lama memejam. Sedangkan Eza, pria itu sama sekali enggan untuk menatap walau dirinya ada di sana, karena terlalu fokus pada ponsel pintar yang digenggamnya, Eza hanya bertanya sesuka yang dia inginkan.

"Katanya kamu akan tanding, kapan?" Tiba-tiba suaranya mengalun, memberi tanda kalau dirinya sedang tidak main-main tentang keputusan yang pernah dibicarakannya beberapa waktu lalu. 

"Aku pasti Tanding," sahut Tara. Cowok itu mengalihkan pandangannya pada Popi yang sibuk mengupas buah apel.

"Baik. Kalau kamu masih mau bertanding, tunjukkan pada Papa. Kalau kamu main-main, kamu yang harusnya mengikuti apa yang Papa minta."

Pria itu sudah berdiri setelah mengatakan apa yang diinginkannya dari Tara. Bahkan pria itu tidak peduli apa yang Athala  katakan. Eza memilih pergi dari pada harus berlama-lama dengan situasi yang sama sekali tidak disukainya.

"Jangan dengerin kata Papa, Kak. Papa nggak main-main sama ucapannya."

Tara tahu, tapi dia tidak ingin seperti Athala yang mau merelakan mimpinya hanya karena ambisi. Tara tahu, apa yang Athala inginkan, tapi anak itu tak pernah mau mengatakannya pada siapa pun.

Sejak kecil Eza benci melodi,tangga nada, dan semua hal tentang seni musik. Ada banyak tekanan yang harus diterimanya saat ia melakukan apa yang tidak ia sukai. Pria itu hanya menyukai bisnis, berkecimpung dalam dunia seni adalah larangan baginya. Bahkan rumah bukan lagi tempatnya kembali.

"Gue bukan Lo, Thal. Gue nggak mau jadi boneka Papa, gue nggak mau buang mimpi gue." Athala tahu, tapi apa yang terjadi saat ini hanya amarah yang terlintas, bukan kah tidak seharusnya didengar? Lalu untuk apa Tara menyetujuinya?

"Athala, udah Sayang," tegur Popi. Wanita itu hanya bisa melihat bagaimana Athala dan Tara berdebat.

"Kak Tara yang mulai, Ma. Aku cuma ngingetin," pekiknya. Popi mengerti, tapi situasinya sangat berbeda. Saat ini Tara masuk rumah sakit bukan hanya sekadar demam, cowok itu juga melanggar aturan cek up yang seharusnya dijalani dua hari lalu.

Hasil rontgen beberapa waktu lalu telah menunjukan kalau cidera yang terjadi pada Tara akan segera pulih, tapi hari ini bukan keajaiban yang Tara terima melainkan sesuatu yang justru membuatnya putus asa.

"Mama percaya kalau kamu pasti bisa sembuh, Sayang." terang Popi. Untuk pertama kalinya Popi kembali mata itu  dengan penuh kecewa. Ada banyak tanya saat melihat Tara yang diam. Bahkan cowok itu tidak lagi melanjutkan makannya. 

"Kapan? Aku udah lama menunggu, tapi yang aku terima bukan kabar baik, kan? Udahlah, kali ini Papa menang."

"Mana Tara yang gue kenal? Lo selalu bilang ke gue kalau Lo nggak mau jadi boneka Papa, tapi sekarang? Lihat, Lo menyerah gitu aja?" Suara Athala mulai meninggi, anak itu pun telah bangkit dari tempatnya. Bahkan Popi saja sampai terjengkit. Wanita itu benar-benar terkejut. Tidak biasanya Athala begitu marah pada Tara, sampai-sampai kedua tangannya mengepal cukup kuat. Popi benar-benar melihat amarah yang sangat langka dalam diri Athala.

"Thal,it's okay, Sayang. Tenang, nanti Mama yang bicara sama Papa."

"Nggak perlu, Ma. Bilang aja sama dia. Dia yang ingkar sama semua omongannya! Bilang sama dia, kalau dia terlalu payah!"

"Thal, it's okay, tenang, duduk dulu," ucap Popi, wanita itu sebisa mungkin untuk menenangkan putranya, tapi ditepis begitu saja. Bahkan keberadaan Rama  saja seperti tidak dihiraukan oleh mereka. Rama ada di sana melihatnya tapi tidak melakukan apa-apa.

👟👟

"Gue harus gimana lagi, Kak? Kak Tara itu keras kepala. Lo juga tahu, itu."

Rama tidak seburuk itu untuk mengenal siapa Tara. Sejak dulu hingga sekarang, Tara memang keras kepala, selalu ingin menjadi yang terdepan. Bukan hanya sekadar maju sebagai pemimpin. Dia juga selalu berkata kalau suatu saat, ia akan menjadi seorang Kakak yang dapat dibanggakan oleh Athala.

"I know, nggak semua hal bisa diselesaikan dengan cara kalian marah kayak gini, Lo bisa ngomong baik-baik sama Tara, dan Lo bilang maaf ke Tante Popi. Cara Lo tadi mungkin aja buat beliau tersinggung, Lo nggak tahu apa yang sekarang dipikirin sama Mama Lo, Thal. Jangan jadi anak durhaka, masalah Lo sama Tara nggak kecil emang, gue tahu, tapi posisinya, omongan Lo di dalam barusan itu terlalu nyakitin perasaan Mama Lo," terang Rama.

"Kak ... Tolong, kalau Lo emang sayang sama gue, kasih tahu Kak Tara, please..."

Kali ini Athala tidak yakin dengan keputusannya. Tapi mengingat kejadian kemarin malam, Athala benar-benar sangat kesal. Malam itu rumah bukan lagi tempat ternyaman. Benar apa yang Tara katakan, ada banyak keraguan di dalam sana yang Athala tidak sadari.

Ia tidak ingat kapan terakhir kali Erza pulang dalam keadaan baik-baik saja. Namun,  dua Minggu lalu, Athala melihat Erza pulang dalam keadaan berantakan, pria itu memang tidak mabuk, hanya saja pakaiannya terlalu berantakan. Hal itu membuat Popi khawatir. Pasalnya, Popi melihat ada luka memar di sudut bibirnya. Ada banyak tanya yang coba Athala cari tahu jawabannya, walau begitu, rasanya tidak mungkin. Karena amarah Erza benar-benar memuncak, dan itu hal yang paling menakutkan untuk Athala ingat.

"Kak? Lo mau, kan,  bantuin gue?"

"Gue akan bantu kalian, sebisa gue, tapi tolong, jangan buat Mama Lo sedih, omongan Lo terlalu kasar tadi,  Lo mau minta maaf ke Mama Lo? Bukan maksud gue ngajarin, tapi sebagai seorang anak nggak seharusnya  ngomong kasar, meski hanya sebatas bantahan yang mungkin spele, tapi  itu akan berdampak besar ke depannya. Hidup itu nggak segampang dan nggak seindah di negeri khayalan, Thal."

"Kalau gue pergi, apa semua akan baik-baik aja?" Detik itu rasanya seperti labirin. Datang lalu tersesat di dalamnya. 

"Nggak, Thal. Apaan sih. Kalau begini, Lo sama aja kayak Tara. Menyerah sebelum berjuang, rumah itu, rumah kalian, tempat kalian  tinggal, seburuk apapun, kalian pasti bisa melindungi satu sama lain. Emang Tara sifatnya kayak gitu, tapi Lo nggak bisa bohong sama diri Lo, kalau Lo juga nggak bisa jauh dari Tara, begitu juga sebaliknya."

Harusnya Athala yang menguatkan Tara, mendengar semua ucapan Rama, rasanya seperti tertampar  berkali lipat. Nyatanya, Athala memang salah, tidak sepantasnya ia melakukan hal bodoh seperti yang dilakukannya saat semua orang sedang tidak-baik saja.

"Please, jangan buat diri Lo terbebani, apa yang Tara lakuin, itu semua buat Lo, Thal. Percaya sama gue, dia sayang banget sama Lo, lakukan apa yang Lo suka, itu yang Tara mau. Kayaknmedan tempur di lapangan sepak bola, itu terlalu terjal karena hujan, kami punya waktu selama empat puluh lima menit buat dapat angka walau itu cuma 1. Ingat, waktu berharga Lo sama Tara, cuma saat kalian ada di rumah."

Rama benar-benar seperti penolong, cowok itu seolah lupa kalau dirinya juga punya rumah untuk  kembali, tapi sekali lagi, Rama yang lagi-lagi meyakinkan Athala tentang makna kembali.


👟👟👟

Yaayyyy, akhirnya update, terima kasih telah menunggu, terima kasih juga telah berkunjung. Salam sayang GanThala.🤗🤗🤗

Ada pesan untuk mereka?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada pesan untuk mereka?

Publish 4 September 2021

Replay ✅Where stories live. Discover now